SENJATA
ORANG-ORANG KALAH
Buku
ini mengupas topik yang menarik, yakni bagaimana cara kaum yang lemah dan
selalu kalah dalam masyarakat menentang kelakuan semena-mena dan eksploitatif
dari kelompok ekonomi dan politik yang kuat, baik yang berasal dari masyarakat
mereka sendiri maupun yang datang dari luar. Cara atau strategi perlawanan kaum
lemah yang dibicarakab dalam buku ini adalah strategi perlawanan yang dilkukan
oleh para petani miskin di daerah pedesaan, tegasnya dalam konteks pedesaan di
negeri Jiran, malaysia.
Meskipun
apa yang diceritakan oleh James scott ini berkaitan dengan kejadian-kejadian di
pedesaan Malaysia 20-30 silam dan sekarang mungkin situasi kaum tani di
Malaysia sudah berubah, namun itu tidak berarti bahwa apa yang diceritakannya
tidak relevan untuk disumak dan dipahami oleh pembaca di Indonesia, yang kaum
taninya dari dulu hingga sekarang seolah jalan di tempat saja. Terutama bgi
sarjana ilmu-ilmu sosial, terlebig bagi mereka yang berminat terhadap
masalah-masalah dinamika sosial, ekonomi dan politik di pedesaan, buku ini
dialamatkan.
Kaum lemah di pedesaan Dunia Ketiga, pada dasarnya tidak
pernah berhenti menentang ketidakadilan yang menimpa diri mereka sebagai akibat
dari tindakan dan perilaku yang dilakukan segolongan manusia, baik yang berasal
dari masyarakat mereka sendiri, maupun kekuatan-kekuatan dari luar masyarakat
mereka, termasuk dalam hal ini pemerintah dan aparatnya yang memperlakukan
mereka secara tidak adil. Perasaan diperlakukan tidak adil inilah yang sering
memicu timbulnya konflik antara pihak petani gurem/miskin dengan
kelompok-kelompok mapan yang mereka anggap sebagai sumber ketidakadilan
tersebut.
Konfliki itu dapat terjadi secara terbuka atau secara
tertutup. Dalam konflik terbuka, para petani gurem sering mengadakan aliansi
dengan kekuatan sosial politik dari luar wilayah mereka yang juga merasa
diperlakukan secara tidak adil, dalam upaya mereka menuntut keadilan. Aliansi
ini mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya adalah upaya
petani gurem untuk menegakkan keadilan menjadi lebih terorganisir, sistematis
dan memperoleh dukungan ideolodgi yang dapat digunakan sebagai sarana untuk
memobilisasi dukungan masyarakat luas. Kita dapat melihat bagaimana dahsyatnya
kekuatan yang terkandung dalam pemberontakan kaum petani yang dipimpin oleh
seorang tokoh keagamaan yang kharismatik, atau bagaimana kuatnya suatu gerakan
sosial kaum tani yang muncul sebagai akibat dari sebuah aliansi antara petani
gurem dengan sebuah partai politik seperti partai komunis.
Umumnya kekuatan yang besar ini memang dalam beberapa
kejadian dapat berhasil menimbulkan perubahan dalam sistem ekonomi dan
politiksuatu negara seperti keberhasilan partai komunis untuk berkuasa di
Russia, Cina daratan dan Kuba. Apabila kekuatan itu gagal menciptakan sebuah
sistem ekonomi dan politik baru pada tingkat nasional, minimalterjadinya protes
atau pemberontakan kaum tani akan memaksa pihak pemerintah yang menghadapi
pemberontakan itu menciptakan
kebijaksanaan baru yang dapat mengeliminir faktor-faktor yang menjadi pemicu
dari timbulnya pemberontakan petani. Untuk membendung terjadinya pemberontakan
petani dan berkembangnya pengaruh partai komunis di daerah pedesaan, banyak
pemerintahan di Asia pada tahun 1960-an melaksanakan land reform dan memberikan prioritas utama pada pembangunan
pedesaan.
Tetapi seperti yang telah disinggung di atas, gerakan
protes petani yang terbuka itu juga membawa dampak negatif. Konflik terbuka
baik yang didukung oleh tokoh agama yang kharismatik atau sebuah partai politik
radikal pasti akan memperoleh reaksi yang represif sifatnya dari rezim yang
berkuasa. Dalam situasi seperti ini maka yang menjadi korban terbesar petani
gurem itu sendiri. Dukungan yang mereka berikan pada sebuah partai seperti
partai komunis, yang kemudian menyebabkan partai berkuasa, juga belum tentu
menjamin bahwa para petani gurem akan diperlakukan adil oleh pemerintahan
komunis yang berkuasa atas dukungan mereka.
Ketika partai komunis berkuasa di Russia, segera
pemerintah Russia bentukan partai komunis, mengintrodusir suatu organisasi pertanian
baru yang terkenal dengan nama “pertanian kolektif”. Dalam sistem baru ini,
para petani pada dasarnya adalah buruh dari tuan tanah baru, yakni negara yang
“memiliki” tanah-tanah melalui sistem kolektif. Negara dalam sistem kolektif
itu mengatur segala aspek dari proses produksi pertanian, sementara petani
hanya menjalankan perintah dari pejabat negara yang memimpin usaha pertanian
kolektif tersebut.
Di
Indonesia sendiri, ketika PKI gagal merebut kekuasaan pada tahun 1965, maka
korban terbanyak dari tindakan represif yang dilakukan kemudian dilakukan oleh
pemerintah adalah para petani gurem yang disinyalir menjadi simpatisan ataupun
pendukung langsung PKI itu.
Pengalaman pahit yang dialami oleh para petani dalam me,mperjuangkan
keadilan melelui perjuangan/konflik terbuka, memaksa mereka mencari suatu
strategi baru: strategi yang dapat yang dapat menjamin kerahasiaan mereka,
dengan demikian terjamin pula keselamatan fisik mereka dan tindakan represif
dari manapun dari siapapun datangnya, termasuk dari aparat negara.
Pada abad ke-19 sampai dengan permulaan abad ke-20, di
pulau Jawa sering muncul gerakan Ratu Adil di pedesaan Jawa. gerakan ini
merupakan wadah dari para atau petani
miskin melawan ketidakadilan yang disebabkan oleh tindakan semena-mena baik
dari pihak kapitalis perkebunan, aparat pemerintah kolonial atau tindakan
kolutif antara keduanya. Namun, gerakan-gerakan itu dapat dilibas oleh aparat
kolonial Belanda dengan tindakan represif dan dengan korban manusia yang besar.
Pengalaman itu mamaksa petani Jawa mencari strategi perlawanan baru yang aman
dalam meneruskan upaya mereka menegakkan keadilan melawan kolonialisme dan
kapitalisme perkebunan Belanda. Salah satu strategi baru yang digunakan oleh
para petani di daerah pabrik gula adalah membakar
ladang tebu milik pabrik gula.
Membakar ladang tebu ini merupakan strategi perlawanan
yang jauh lebih aman daripada gerakan Ratu Adil, sebab tidak perlu dilakukan
melalui sebuah orgainsasi lengkap dengan pemimpinnya yang mudah terdeteksi
aparat negara. Seorang petani dapat iseng melempar puntung rokoknya di
tengah-tengah kebun sambil berjalan atau tanpa diketahui orang lain.
Perbuatan si petani itu dapat mengacaukan seluruh proses
produksi pabrik gula. Ratusan hektar lahan tebu dalam waktu singkat habis
terbakar. Pemilik pabrik gula harus menebangi tebu yang telah dibakar dan
mengembalikan lahan yang ditanami tebu kepada para petani yang semula dipaksa
oleh aparat pemerintah kolonial untuk menyewakan lahan mereka kepada pabrik
gula. Bagi petani, membakar tebu merupakan strategi ampuh dalam memperoleh
lahan mereka yang disewa dengan harga rendah oleh pabrik gula tanpa mereka
harus ditangkap oleh aparat. Sementara itu bagi para pemilik pabrik gula,
mereka jelas menderita rugi besar karena terbakarnya ladang tebu mereka. Namun,
yang membuat mereka lebih frustasi lagi ialah sulitnya menangkap si pelakuk
pembakaran itu.
Untuk membantu pabrik gula mengatasi pembakaran tebu itu,
pemerintah kolonial Belanda membentuk polisi khusus, yakni polisi perkebunan.
Meskipun demikian, pembakaran ladang tebu terus saja terjadi di daerah pedesaan
sampai pemerintah kolonial Belanda meninggalkan Indonesia sampai saat ini,
membakar ladang-ladang tebu tetapi merupakan strategi yang ditempuh para petani
untuk mengekspresikan protes mereka terhadap kebijakan pemerintah Indonesia
yang mengharuskan mereka menanam tebu.
Fenomena lain yang pantas untuk dicernati pula adalah hal
lhwal “kerja bakti”, yang bagi masyarakat pedesaan dianggap sebagai beban bagi
mereka. Karena sibuknya mereka mencari makan, maka umumnya sedikit sisa waktu
yang terluang. Karena kerja bakti merupakan keharusan, maka rakyat desa tidak
dapat mengelak. Untuk menunjukkan rasa tidak senang dan tidak setujunya mereka
terhadap kewajiban kerja bakti ini, penduduk desa datang tanpa alat kerja.
Mereka hanya duduk-duduk/bekerja hanya sedikit-sedikit sambil menunggu usainya
kerja bakti. Kepala desa tidak mampu berbuat apa-apa, apalagi memarahi mereka
yang datang tanpa alat kerja, karena sikap “membandel” yang sama-samar ini
tidak
Melanggar aturan desa.
Di suatu desa di DIY, saya pernah temukan hal menarik.
Hampir seluruh penduduk desa itu bekerja sebagai buruh tani. Mereka,
mengerjakan sawah-sawah yang pemiliknya berdomisili di kota Yogya. Dalam rangka
menaikkan produksi beras, pemerintah membangun
saluran irigasi. Ketika saluran irigasi itu selesai dibangun, pemerintah
berharap petani mau ikut memelihara saluran itu. Namun ternyata petani tidak ada
yang mau memeliharanya, dengan alasan yang bagi saya cukup menari, yakni mereka
tidaka akan banyak memperoleh manfaat dari kenaikan produksi beras karena adanya saluran irigasi itu. Bagian
terbesar dari kenaikan produksi dinikmati oleh pemilik tanah. Keengganan petani
memelihara saluran irigasi dengan demikian merupakan wahana protes mereka
terhadap ketidakadilan. Pemerintah setempat tidak dapat berbuat banyak karena
tidak ada perangkat aturan yang dapat dipakai untuk memaksa petani memelihara saluran irigasi.
Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), yang dahulu pernah
dipopulerkan oleh rezim orde baru sebagai kelompok orang yang pantas diwaspadai
mengancam stabilitas negara, awal mulanya adalah kreasi enteng dari para
petani. Dan OTB dari kelompok masyarakat
yang lemah dan selalu kalah ini merupakan strategi yang efektif dan aman
untuk mengupayaka dan tegaknya keadilan dalam masyarakatnya.
Sudah lama pemerintah negara-negara berkembang melalui
berbagai program pembangunan desa ingin meningkatkan kehidupan rakyat pedesaan.
Berbagi teori dan strategi dikembangkan oleh para ahli untuk mendukung upaya
ini. Namun harus diakui, sesudah tiga dekade pembangunan dunia, pembangunan
pedesaan di negara-negara sedang berkembang belum banyak berubah seperti yang
dikehendaki oleh masing-masing pemerintah negara itu. Salah satu sebab mengapa
hal ini terjadi adalah karena program-program itu tidak sesuai dengan keinginan
dan aspirasi rakyat. Karena rakyat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan
pembangunan.
Sebagai protes terhadap hal ini, para petani dan penduduk
pedesaan umumnya tidak mau berpartisipasi dalam mengembangkan dan melestarikan
proyek/program pembangunan pedesaan yang diusung pemerintah. Banyak proyek
pembangunan lalu jadi mubazir karena rakyat tidak mau atau tidak diikutkan
dalam proyek/program itu. Pemerintahpun dalam hal seperti ini dirugikan
milyaran rupiah.
Memahami masalah tersebut dan kemacetan teori-teori
terhadap pembangunan yang ada dalam membantu memecahkan masalah, maka konsep
teori pembangunan baru yang diharapkan dapat memberikan terobosan baru dalam
pembangunan pedesaan. Konsep baru itu adalah “sustainable development,”empowerment”, “gender”, “people development”;
sementara dalam metode, muncul metodologo baru seperti Participatory Rural Appraisal atau PRA. Semua itu muncul sebagai
upaya untuk menghilangkan perasaan diperlakukan tidak adil di kalangan petani
kecil, dengan cara membuat pembangunan mengekspresikan aspirasi mereka.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan
merubah konsep dan metodologi penelitian saja, para petani miskin di pedesaan
akan menhentikan perjuangan mereka terhadap ketidakailan. Selama negara tidak
memihak pada nilai-nilai demokrasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasi
rakyat, maka petani gurem akan terus bergerak dan berjuang menegakkan keadilan
dengan cara mereka. Bahkan kita dapat memprediksi bahwa pada abad yang akan
datang, yakni abad liberalisasi perdagangan, gerakan protes kaum tani ini akan
semakin banyak dan semakin vokal. Hal ini karena era liberalisasi perdagangan
dunia akan menempatkan para petani kecil pada posisi yang sangat lemah dalam
perekonomian nasional dan internasional dan sangat kompetitif.
Dalam kondisi seperti ini, dunia ketiga, termasuk
Indonesia, akan melihat terjadinya gerakan-gerakan petani yang lebih radikal
daripada yang dibicarakan oleh James Scott dalam bukunya ini. Para petani dari
suatu negara yang mengalami tekanan ekonomi yang berat karena produk-produk
usaha tani mereka tidak dapat laku di pasar karena kalah bersaing dengan
produk-produk pertanian asing, dapat melampiaskan frustasi mereka dengan
membuat gerakan-gerakan protes petani yang radikal. Hal ini akan lebih
mengkhawatirkan karena dunia pada saat ini juga dihuni oleh manusia-manusia
gila yang mampu menciptakan mesin-mesin pembunuh yang sangat canggih. Kelompok
seperti ini dapat bergabung dengan kelompok radikal lokal untuk mengganggu
keamanan. Hal ini tidak dapat dicegah dengan kekuatan militer, tetapi hanya
mungkin dicegah oleh satu pemerintahan yang demokratis, yang menhormati hak-hak
asasi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar