Selasa, 13 November 2012


SENJATA ORANG-ORANG KALAH

Buku ini mengupas topik yang menarik, yakni bagaimana cara kaum yang lemah dan selalu kalah dalam masyarakat menentang kelakuan semena-mena dan eksploitatif dari kelompok ekonomi dan politik yang kuat, baik yang berasal dari masyarakat mereka sendiri maupun yang datang dari luar. Cara atau strategi perlawanan kaum lemah yang dibicarakab dalam buku ini adalah strategi perlawanan yang dilkukan oleh para petani miskin di daerah pedesaan, tegasnya dalam konteks pedesaan di negeri Jiran, malaysia.
Meskipun apa yang diceritakan oleh James scott ini berkaitan dengan kejadian-kejadian di pedesaan Malaysia 20-30 silam dan sekarang mungkin situasi kaum tani di Malaysia sudah berubah, namun itu tidak berarti bahwa apa yang diceritakannya tidak relevan untuk disumak dan dipahami oleh pembaca di Indonesia, yang kaum taninya dari dulu hingga sekarang seolah jalan di tempat saja. Terutama bgi sarjana ilmu-ilmu sosial, terlebig bagi mereka yang berminat terhadap masalah-masalah dinamika sosial, ekonomi dan politik di pedesaan, buku ini dialamatkan.
            Kaum lemah di pedesaan Dunia Ketiga, pada dasarnya tidak pernah berhenti menentang ketidakadilan yang menimpa diri mereka sebagai akibat dari tindakan dan perilaku yang dilakukan segolongan manusia, baik yang berasal dari masyarakat mereka sendiri, maupun kekuatan-kekuatan dari luar masyarakat mereka, termasuk dalam hal ini pemerintah dan aparatnya yang memperlakukan mereka secara tidak adil. Perasaan diperlakukan tidak adil inilah yang sering memicu timbulnya konflik antara pihak petani gurem/miskin dengan kelompok-kelompok mapan yang mereka anggap sebagai sumber ketidakadilan tersebut.
            Konfliki itu dapat terjadi secara terbuka atau secara tertutup. Dalam konflik terbuka, para petani gurem sering mengadakan aliansi dengan kekuatan sosial politik dari luar wilayah mereka yang juga merasa diperlakukan secara tidak adil, dalam upaya mereka menuntut keadilan. Aliansi ini mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya adalah upaya petani gurem untuk menegakkan keadilan menjadi lebih terorganisir, sistematis dan memperoleh dukungan ideolodgi yang dapat digunakan sebagai sarana untuk memobilisasi dukungan masyarakat luas. Kita dapat melihat bagaimana dahsyatnya kekuatan yang terkandung dalam pemberontakan kaum petani yang dipimpin oleh seorang tokoh keagamaan yang kharismatik, atau bagaimana kuatnya suatu gerakan sosial kaum tani yang muncul sebagai akibat dari sebuah aliansi antara petani gurem dengan sebuah partai politik seperti partai komunis.
            Umumnya kekuatan yang besar ini memang dalam beberapa kejadian dapat berhasil menimbulkan perubahan dalam sistem ekonomi dan politiksuatu negara seperti keberhasilan partai komunis untuk berkuasa di Russia, Cina daratan dan Kuba. Apabila kekuatan itu gagal menciptakan sebuah sistem ekonomi dan politik baru pada tingkat nasional, minimalterjadinya protes atau pemberontakan kaum tani akan memaksa pihak pemerintah yang menghadapi pemberontakan itu  menciptakan kebijaksanaan baru yang dapat mengeliminir faktor-faktor yang menjadi pemicu dari timbulnya pemberontakan petani. Untuk membendung terjadinya pemberontakan petani dan berkembangnya pengaruh partai komunis di daerah pedesaan, banyak pemerintahan di Asia pada tahun 1960-an melaksanakan land reform dan memberikan prioritas utama pada pembangunan pedesaan.
            Tetapi seperti yang telah disinggung di atas, gerakan protes petani yang terbuka itu juga membawa dampak negatif. Konflik terbuka baik yang didukung oleh tokoh agama yang kharismatik atau sebuah partai politik radikal pasti akan memperoleh reaksi yang represif sifatnya dari rezim yang berkuasa. Dalam situasi seperti ini maka yang menjadi korban terbesar petani gurem itu sendiri. Dukungan yang mereka berikan pada sebuah partai seperti partai komunis, yang kemudian menyebabkan partai berkuasa, juga belum tentu menjamin bahwa para petani gurem akan diperlakukan adil oleh pemerintahan komunis yang berkuasa atas dukungan mereka.
            Ketika partai komunis berkuasa di Russia, segera pemerintah Russia bentukan partai komunis, mengintrodusir suatu organisasi pertanian baru yang terkenal dengan nama “pertanian kolektif”. Dalam sistem baru ini, para petani pada dasarnya adalah buruh dari tuan tanah baru, yakni negara yang “memiliki” tanah-tanah melalui sistem kolektif. Negara dalam sistem kolektif itu mengatur segala aspek dari proses produksi pertanian, sementara petani hanya menjalankan perintah dari pejabat negara yang memimpin usaha pertanian kolektif tersebut.         
Di Indonesia sendiri, ketika PKI gagal merebut kekuasaan pada tahun 1965, maka korban terbanyak dari tindakan represif yang dilakukan kemudian dilakukan oleh pemerintah adalah para petani gurem yang disinyalir menjadi simpatisan ataupun pendukung langsung PKI itu.
            Pengalaman pahit yang dialami oleh para petani dalam me,mperjuangkan keadilan melelui perjuangan/konflik terbuka, memaksa mereka mencari suatu strategi baru: strategi yang dapat yang dapat menjamin kerahasiaan mereka, dengan demikian terjamin pula keselamatan fisik mereka dan tindakan represif dari manapun dari siapapun datangnya, termasuk dari aparat negara.
            Pada abad ke-19 sampai dengan permulaan abad ke-20, di pulau Jawa sering muncul gerakan Ratu Adil di pedesaan Jawa. gerakan ini merupakan wadah dari para  atau petani miskin melawan ketidakadilan yang disebabkan oleh tindakan semena-mena baik dari pihak kapitalis perkebunan, aparat pemerintah kolonial atau tindakan kolutif antara keduanya. Namun, gerakan-gerakan itu dapat dilibas oleh aparat kolonial Belanda dengan tindakan represif dan dengan korban manusia yang besar. Pengalaman itu mamaksa petani Jawa mencari strategi perlawanan baru yang aman dalam meneruskan upaya mereka menegakkan keadilan melawan kolonialisme dan kapitalisme perkebunan Belanda. Salah satu strategi baru yang digunakan oleh para petani di daerah pabrik gula adalah membakar ladang tebu milik pabrik gula.
            Membakar ladang tebu ini merupakan strategi perlawanan yang jauh lebih aman daripada gerakan Ratu Adil, sebab tidak perlu dilakukan melalui sebuah orgainsasi lengkap dengan pemimpinnya yang mudah terdeteksi aparat negara. Seorang petani dapat iseng melempar puntung rokoknya di tengah-tengah kebun sambil berjalan atau tanpa diketahui orang lain.
            Perbuatan si petani itu dapat mengacaukan seluruh proses produksi pabrik gula. Ratusan hektar lahan tebu dalam waktu singkat habis terbakar. Pemilik pabrik gula harus menebangi tebu yang telah dibakar dan mengembalikan lahan yang ditanami tebu kepada para petani yang semula dipaksa oleh aparat pemerintah kolonial untuk menyewakan lahan mereka kepada pabrik gula. Bagi petani, membakar tebu merupakan strategi ampuh dalam memperoleh lahan mereka yang disewa dengan harga rendah oleh pabrik gula tanpa mereka harus ditangkap oleh aparat. Sementara itu bagi para pemilik pabrik gula, mereka jelas menderita rugi besar karena terbakarnya ladang tebu mereka. Namun, yang membuat mereka lebih frustasi lagi ialah sulitnya menangkap si pelakuk pembakaran itu.
            Untuk membantu pabrik gula mengatasi pembakaran tebu itu, pemerintah kolonial Belanda membentuk polisi khusus, yakni polisi perkebunan. Meskipun demikian, pembakaran ladang tebu terus saja terjadi di daerah pedesaan sampai pemerintah kolonial Belanda meninggalkan Indonesia sampai saat ini, membakar ladang-ladang tebu tetapi merupakan strategi yang ditempuh para petani untuk mengekspresikan protes mereka terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang mengharuskan mereka menanam tebu.
            Fenomena lain yang pantas untuk dicernati pula adalah hal lhwal “kerja bakti”, yang bagi masyarakat pedesaan dianggap sebagai beban bagi mereka. Karena sibuknya mereka mencari makan, maka umumnya sedikit sisa waktu yang terluang. Karena kerja bakti merupakan keharusan, maka rakyat desa tidak dapat mengelak. Untuk menunjukkan rasa tidak senang dan tidak setujunya mereka terhadap kewajiban kerja bakti ini, penduduk desa datang tanpa alat kerja. Mereka hanya duduk-duduk/bekerja hanya sedikit-sedikit sambil menunggu usainya kerja bakti. Kepala desa tidak mampu berbuat apa-apa, apalagi memarahi mereka yang datang tanpa alat kerja, karena sikap “membandel” yang sama-samar ini tidak
Melanggar aturan desa.
            Di suatu desa di DIY, saya pernah temukan hal menarik. Hampir seluruh penduduk desa itu bekerja sebagai buruh tani. Mereka, mengerjakan sawah-sawah yang pemiliknya berdomisili di kota Yogya. Dalam rangka menaikkan produksi beras, pemerintah membangun  saluran irigasi. Ketika saluran irigasi itu selesai dibangun, pemerintah berharap petani mau ikut memelihara saluran itu. Namun ternyata petani tidak ada yang mau memeliharanya, dengan alasan yang bagi saya cukup menari, yakni mereka tidaka akan banyak memperoleh manfaat dari kenaikan produksi beras  karena adanya saluran irigasi itu. Bagian terbesar dari kenaikan produksi dinikmati oleh pemilik tanah. Keengganan petani memelihara saluran irigasi dengan demikian merupakan wahana protes mereka terhadap ketidakadilan. Pemerintah setempat tidak dapat berbuat banyak karena tidak ada perangkat aturan yang dapat dipakai untuk memaksa petani  memelihara saluran irigasi.
            Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), yang dahulu pernah dipopulerkan oleh rezim orde baru sebagai kelompok orang yang pantas diwaspadai mengancam stabilitas negara, awal mulanya adalah kreasi enteng dari para petani. Dan OTB dari kelompok masyarakat  yang lemah dan selalu kalah ini merupakan strategi yang efektif dan aman untuk mengupayaka dan tegaknya keadilan dalam masyarakatnya.
            Sudah lama pemerintah negara-negara berkembang melalui berbagai program pembangunan desa ingin meningkatkan kehidupan rakyat pedesaan. Berbagi teori dan strategi dikembangkan oleh para ahli untuk mendukung upaya ini. Namun harus diakui, sesudah tiga dekade pembangunan dunia, pembangunan pedesaan di negara-negara sedang berkembang belum banyak berubah seperti yang dikehendaki oleh masing-masing pemerintah negara itu. Salah satu sebab mengapa hal ini terjadi adalah karena program-program itu tidak sesuai dengan keinginan dan aspirasi rakyat. Karena rakyat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan.
            Sebagai protes terhadap hal ini, para petani dan penduduk pedesaan umumnya tidak mau berpartisipasi dalam mengembangkan dan melestarikan proyek/program pembangunan pedesaan yang diusung pemerintah. Banyak proyek pembangunan lalu jadi mubazir karena rakyat tidak mau atau tidak diikutkan dalam proyek/program itu. Pemerintahpun dalam hal seperti ini dirugikan milyaran rupiah.
            Memahami masalah tersebut dan kemacetan teori-teori terhadap pembangunan yang ada dalam membantu memecahkan masalah, maka konsep teori pembangunan baru yang diharapkan dapat memberikan terobosan baru dalam pembangunan pedesaan. Konsep baru itu adalah “sustainable development,”empowerment”, “gender”, “people development”; sementara dalam metode, muncul metodologo baru seperti Participatory Rural Appraisal atau PRA. Semua itu muncul sebagai upaya untuk menghilangkan perasaan diperlakukan tidak adil di kalangan petani kecil, dengan cara membuat pembangunan mengekspresikan aspirasi mereka.
            Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan merubah konsep dan metodologi penelitian saja, para petani miskin di pedesaan akan menhentikan perjuangan mereka terhadap ketidakailan. Selama negara tidak memihak pada nilai-nilai demokrasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasi rakyat, maka petani gurem akan terus bergerak dan berjuang menegakkan keadilan dengan cara mereka. Bahkan kita dapat memprediksi bahwa pada abad yang akan datang, yakni abad liberalisasi perdagangan, gerakan protes kaum tani ini akan semakin banyak dan semakin vokal. Hal ini karena era liberalisasi perdagangan dunia akan menempatkan para petani kecil pada posisi yang sangat lemah dalam perekonomian nasional dan internasional dan sangat kompetitif.
            Dalam kondisi seperti ini, dunia ketiga, termasuk Indonesia, akan melihat terjadinya gerakan-gerakan petani yang lebih radikal daripada yang dibicarakan oleh James Scott dalam bukunya ini. Para petani dari suatu negara yang mengalami tekanan ekonomi yang berat karena produk-produk usaha tani mereka tidak dapat laku di pasar karena kalah bersaing dengan produk-produk pertanian asing, dapat melampiaskan frustasi mereka dengan membuat gerakan-gerakan protes petani yang radikal. Hal ini akan lebih mengkhawatirkan karena dunia pada saat ini juga dihuni oleh manusia-manusia gila yang mampu menciptakan mesin-mesin pembunuh yang sangat canggih. Kelompok seperti ini dapat bergabung dengan kelompok radikal lokal untuk mengganggu keamanan. Hal ini tidak dapat dicegah dengan kekuatan militer, tetapi hanya mungkin dicegah oleh satu pemerintahan yang demokratis, yang menhormati hak-hak asasi manusia.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar