Rabu, 31 Juli 2013

Perkembangan Cirebon sebagai Kota Pantai serta Peranan Pelabuhannya



Cirebon: perkembangannya sebagai Kota Pantai dan Peranan Pelabuhan dalam Perjalanan Maritim Indonesia

          Sejarah kota-kota di indonesia sebagian besar berkembang di wilayah pantai karena kedudukannya sebagai pelabuhan. Hal ini dikarenakan aadanya aktivitas ekonomi, budaya, politik, dan sosial banyak dilakukan melalui laut pada masa lalu.sejarah telah membuktikan bahwa perdagangan paling ramai dan mudah dilakukan adalah melalui sungai dan laut. Akibatnya  muncul pemukiman pemukiman disekitar sungai dan pantai. Kemudian dalam perkembangannya pemukiman itu berubah menjadi kota seiring dengan adanya interaksi antara penduduk asli dengan pendatangsetelah melalui waktu yang lama. Kelahiran suatu kota yang melalui proses sejarah yang panjang juga terjadi diberbagai kota kota pantai di Jawa, salah satunya adalah Cirebon.
          Kota Cirebon merupakan kota pantai yang terletak di ujung timur pantai Utara Jawa Barat. Sejak awal berdirinya kota Cirebon merupakan sebuah desa yang bernama lemahwungkuk yang menjadi pusat penyebaran agama islam didaerah sekitarnya. Selanjutnya desa ini berkembang menjadi kota dengan nama Cirebon yang sesuai dengan toponim daerah tersebut karena banyak menghasilkan rebon atau udang yang menjadi pusat kerajaan Cirebon. Pada Jaman VOC Cirebon menjadi pusat perniagaan Belanda di daerah Batavia dan Jepara, selanjutnya pada masa Hindia Belanda kota ini berkedudukan sebagai ibukota Kerasidenan, ibu kota Kabupaten, dan sekaligus sebagai ibukota distrik. Bahkan pada tahun 1906 kota cirebon dijadikan sebagai Gemeente.
          Kota pelabuhan ini terletak di teluk yang terlindungi oleh semenanjung Indramayu dan karang-karang di sebagian lepas pantai dari terjangan ombak dari arah utara, Jalan masuk untuk berlabuh berada disebelah timur yang terletak disebelah utara muara sungai Losari. Kondisi ini telah mendoron Cirebon yang berfungsi sebagai route pelayaran jalan Sutera.
1.1 Kedudukan Cirebon pada Masa Awal Perkembangan Islam
          Cirebon merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar bangsa, Lokasinya diantara Jawa tengah dan Jawa Barat telah membuat Cirebon berperan selain sebagai bandar pelabuhan juga berperan sebagai Jembatan kebudayaan antara Jawa dan Sunda. Pembentukan Cirebon tidak dapat dipisahkan dari sejarah Pantai Utara secara keseluruhan, karena  Cirebon tidak hanya mempunyai hubungan – hubungan  dengan kerajaan Islam seperti Demak, Banten Tuban dan Gresik melainkan juga berhubungan dengan bandar-bandar seberang lautan seperti Pasai dan Champa yang tidak dapat dipisahkan dengan persebaran islam di Jawa.
          Peranan Cirebon dalam persebaran islam abad ke 9 hingga abad ke 11M merupakan gejala tumbuhnya islam di Nusantara. Adanya serangan dari bangsa Mongol  (Tartar) pada abad ke 15 terhadap Baghdad menyebabkan agama islam masuk dipelosok Nusantara dengan memanfaatkan wahana perdagangan internasional. Jalur perdagangan melalui laut itulah yang disebut perdagangan jalur Sutra.  Wilayah-wilayah pesisir Nusantara lebih mudah mengadakan hubungan dengan para pedagang islam yang telah membawa dampak sosial maupun budaya bagi masyarakat setempat. Daerah pesisir utara pantai Jawa pun telah memiliki beberapa pemukiman orang islam sejak abad ke 11 M kemudian islam dapat berkembang dengan pesat di Jawa pada abad ke 15 hingga 16 M. Perkembangan islam yang pesat ini tidak terlepas dari peranan para walisanga dengan melakukan aktivitasnya dengan mengembangkan dan memperluas wilayah dengan menjalankan pengaruh melalui lembaga-lembaga pesantren. Salah satu Wali yang berperan dalam perkembangan islam di Cirebon ketika masa Banten dan Matram adalah Sunan Gunung Jati. Cirebon sendiri saat itu menjadi Barometer Islamisasi di daerah Jawa Barat. Awal perkembangan Cirebon sebagai salah satu pusat perkembangan islam di Pulau Jawa sekaligus tumbuh menjadi pusat kekuatan politik. Dalam kegiatan politikya, Cirebon berusaha menciptakan keseimbangan politik baik ke arah timur maupun ke arah barat dengan mejadi salah satu Bandar perdagangan yang pesat pada masanya sekaligus menjadi kota yang bernafaskan islam dengan pola-pola penyusunan masyarakat yang Hierarki sosial yang kompleks
          Letak Cirebon yang berada antara jalur Banten dan Jakarta disebelah Barat, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan Giri disebelah timur telah menjadikan posisi tersebut menjadikan Cirebon berada ditengah jaringan ekonomi perdagangan, penyiaran islam sekaligus pemantapan pengetahuan islam ke arah barat dan timur. Tumbuh dan berkembangnya Crebon juga tidak dapat dipisahkan dari sejumlah sejarah seperti jatuhnya Malaka ke tangan Portugis yang telah mengubah kondisi geopolitik dan geoekonomi kawasan sekitar Selat Malaka.  Kemantapan posisi geopolitik Crebon sering di uji oleh tekanan Mataram, walaupun secara langsung Cirebon tidak pernah mengalami serangan secara fisik langsung dari Mataram. Namun dalam hal konflik antara Mataram dengan VOC, Cirebon lebih banyak memilih jalan tengah ketika seorang Kumpeni VOC dalam perjalanan ke Mataram sering menimbulkan kegusaran bagi Mataram. Karena itu ketika armada Kompeni VOC pada tahun 1962 berlayar di pantai utara, Cirebon mengundang armada VOC agar menembakkan meriamnya untukmenimbulkan kesan bahwa belanda memusihi Cirebon.
          Pada sisi yang lain pihak Cirebon seringkali dimanfaatkan oleh Mataram menjadi penghubung antara mataram dan Banten yang apabila terjadi konflik akan mempersulit kedudukan Cirebon, sehingga Cirebon akhirnya memilih proteksi Belanda pada tahun 1981. Posisi Cirebon yang strategis menjadi penghubung bagi Mataram untuk terus menetralisir Kesultanan Banten, selain itu Cirebon juga menjadi “Buffer Power” Mataram untuk menahan laju Kompeni / VOC yang berpusat di Batavia, pengamanan politik Mataram terhadap Cirebon tentunya tidak semata-mata berkaitan dengan posisi politik Mataram sebagai “adi kuasa” di pulau Jawa pada abad ke 16. Tekanan terhadap Cirebon juga tidak terlepas dari kedudukan Cirebon sebagai salah satu bandar yang mampu mengembangkan perdagangan jarak jauh, Cirebon dan wilayah bawahannya dianggap mampu mengamankan dan menyediakan Logistik militer bagi Operasi Matram ke arah barat khususnya ke Batavia. Kepentingan inilah yang membuat Cirebon memiliki posisi khusus bagi Banten, Batavia, Demak kemudian Mataram bahkan sampai ke Giri Gresik.
1.2 Peranan Pelabuhan Cirebon dan Daerah Pedalaman
          Cirebon merupakan salah satu pelabuhan penting dipesisir utara Pulau Jawa dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Indonesia maupun dengan bagian dunia lainnya. Dari pedalaman Cirebon dihasilkan beras dan bahan pangan lainnya. Daerah pedalaman Cirebon yang mengelilingi kota merupakan wilayah subur yang terdiri dari daratan rendah banyak menghasilkan beras untuk diekspor dan dataran tinggi yang berada di gunung gunung Ciremai, gunung sawal dan gunung Cakrabuana banyak menghasilkan kayu yang berkualitas baik.   Perkembangan Cirebon dapat dilihat dari adanya persaingan dengan pelabuhan-pelabuhan lain disekitarnya antara lain Losari, Tegal, Japura, Amparan Jati, Dermayu. Diantara persaingan tersebut yang paling cepat berkembang adalah pelabuhan Cirebon.
Keterpisahan Cirebon dengan dunia laut ini dimulai ketika VOC berhasil menanamkan dominasinya di Cirebon sejak tahun 1681 dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 7 januari 1681 antara Cirebon dengan VOC yang mempengaruhi perjalanan Cirebon sebagai kota dagang adalah bahwa Kompeni mendapatkan hak Monopoli impor pakaian, kapas, opium, dan monopoli ekspor seperti lada, kayu, gula, beras, dan rpoduk apapun yang dikehendaki Kumpeni.  Perjnjian ini juga mengatur bahwa pelayaran pribumi harus mendapatkan lisensi dari VOC dan sangat dibatasi, tidak semua kapal boleh masuk kecuali atas ijin VOC. Dengan adanya perjanjian tersebut maka secara politis maupun militer, Cirebon berada dibawah lindungan Kumpeni. Sebagaimana di kota-kota pelabuhan lainnya di Indonesia pada periode ini  pusat aktivitas orang orang belanda di Cirebon berada dalam sebuah benteng ang diberi nama De Bescherming yang dugunakan sebagai tempat tinggal para pejabat VOC.
          Mulai pada tahun 1900 posisi pelabuhan Cilacap sudah tergeser oleh ekspor pelabuhan Cilacap, pada tahun ini nilai ekspor pelabuhan Cilacap sebanyak 7,6 juta gulden sedangkan nilai ekspor pelabuhan Cirebon6 juta Gulden. Pada tahun 1914 nilai ekspor pelabuhan Cirebon hanya separoh dari ekspor pelabuhan Cilacap, kondisi yang sama juga terjadi pada tahun 1929. Bahkan kurang dari separoh ekspor pelabuhan Cirebon kurang dari separoh nilai ekspor pelabuhan Cilacap.
          Adanya plitik atau sistem tanam paksa yang timbul akibat adanya liberalisme dari kebijakan kolonial telah membuat Cirebon sebagai daerah penghasil beras tidak dapat terlepas dari sistem ini yang diterapkan sejak tahun 1830. Barang komoditi selain beras juga menghasilkan Kopi, pengangkutan kopi yang menuntut untuk menggunakan jalur darat sebagai jalur untuk mengangkut hasil kopi, namun karena kondisi jalan darat yang belum cukup baik. Sehingga di Cirebon yang paling berkembang adalah jalur sungai yang menghubungkan dengan daerah pedalaman Cirebon. Letak pelabuhan dan kota Cirebon yang strategis ini tentu akan menjadi pesaing dengan pelabuhan disekitarnya. Saat itu kota Cilacap yang juga berkembang menjadi kota pelabuhan merupakan saingan dari pelabuhan Cirebon di masa culturstelsel. Pelabuhan Cilacap yang terletak di residensi Banyumas dan berbatasan langsung dengan residen Cirebon dan Pekalongan di sebelah utara dengan laut hindia belanda disebelah selatan. Di daerah pedalaman Cilacap dan Cirebon berbatasan secara langsung. kedua pelabuhan ini memilik akses yang sama ke Priangan,dimana priangan merupakan daerah yang dalam masa pelaksanaan Culturstelsel merupakan penghasil kopi terbesar di Jawa selain Pasuruan dan Kedu. Dari sinilah persaingan antara pelabuhan Cirebon dan pelabuhan Cilacap dalam masa Culturstelsel berkaitan dengan komoditi kopi khususnya dari peringan dan dari bagian selatan Cirebon ternyata lebih mudah diekspor melalui pelabuhan Cilacap. Ekspor kopi dari Cilacap pada tahun 1881 bukan hanya berasal dari Bagelan dan Banyumas melainkan berasal dari Cirebon. Dari jumlah 18.053 pikul kopi yang diekspor dari Cilacap sebanyak 48.002 pikul berasal dari Priangan dan 1.619 pikul berasal dari Cirebon. Dalam periode tahun 1870-an sampai awal 1880-an posisi ekspor pelabuhan Cirebon berada diatas pelabuhan Cilacap.
                    Sejalan dengan semakin besarnya kepentingan Belanda baik dari piak pemerintah maupun swasta di pedalaman Cirebon maka peranan pelabuhan dan kota Cirebon semakin penting bukan hanya sebagai transit komoditi ekspor dan impor tetapi juga sebagai pusat pengendalian politik kawasan pedalaman. Perkembangan dan perhatian belanda terhadap pelabuhan Cirebon  yang sejak awal abad ke 20 menjadi pelabuhan ekspor Impor terbesar keempat di Jawa setelah Batavia, Surabaya, dan Smarang. Hal ini telah mendorong belanda Untuk melakukan berbagai pembenahan terhadap pelabuhan dan kota Cirebon. Perubahan itu dapat dilihat darikekuasaan keraton yang semakin lemah secara politik dan ekonomi sehingga lingkungan keraton tidak lagi menjadi pusat orientasi pemukiman penduduk, namun kedudukannya digantikan oleh pelabuhan yang merupakan pusat aktivitas VOC serta  sebagai tempat orientasi pemekaran wilayah penduduk.




Rabu, 17 Juli 2013

Industri Mesin di Surabaya



INDUSTRI MESIN SURABAYA: FUNGSI DAN PERAN DALAM INDUSTRIALISASI DAN PEMBANGUNAN KOTA ABAD XIX DAN AWAL ABAD XX
  PENGANTAR
Kota merupakan wadah dari berbagai aspek kehidupan yang sangat kompleks, Salah satu pendapat tentang kota menurut J.H De Goode menentukan beberapa ciri kawasan yang disebut kota, diantaranya adalah mempunyai peranan besar yang dipegang oleh sektor sekunder (Industri) dan tersier (Jasa) dalam kehidupan ekonomi, Jumlah penduduk yang relatif besar dan Heterogen, serta kepadatan penduduk yang relatif besar. Surabaya yang merupakan salah satu kota besar yang tidak bisa terlepas dari ciri yang disebutkan oleh De Goode. Surabaya sebagai Kota juga diperkuat oleh pendapat dari Mc Gee yang menyatakan bahwa terdapat tiga ciri kota kolonial yaitu pemukiman sudah stabil, terdapat Garnisun, dan pemukiman pedagang, yang paling penting adalah lokasinya dekat dengan laut atau sungai yang memudahkan pendatang Eropa untuk mengekspor produk dari daerah yang bersangkutan serta mengekspor produk dari Eropa. Kondisi kota inilah yang berpengaruh terhadap proses industrialisasi di Kota Surabaya. Industri itu sendiri mengandung makna sebagai fasilitator yang mengolah bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang mempunyai nilai guna lebih tinggi.
Sejak akhir abad ke 19 hingga awal abad ke-20 perkembangan industri meningkat tajam yang disebabkan oleh pertanian perkebunan yang memberlakukan sistem tanam paksa. Berdirinya industri dengan menggunakan mesin sebagai tenaga produksi ini menjadikan proses transfer teknologi sangat penting dalam proses industrialisasi di Jawa, sehingga awal abad ke-20 kota kota besar di Jawa menjalankan fungsinya sebagai pusat administratif dan komersial. Industrialisasi yang semakin meningkat ini menyerap banyak tenaga kerja khususnya yang paling banyak di industri mekanik. Kondisi ini juga dapat menimbulkan urbanisasi, sehingga surabaya saat itu juga menjadi kota dengan penduduk terpadat.
 ISI SINGKAT
Peningkatan industri sejak abad ke 19 hingga awal abad ke-20 perkembangannya di Kota Surabaya meningkat tajam. Jika pada tahun 1899 jumlah industri manufaktur hanya berjumlah 113 buah maka pada tahun 1914 meningkat menjadi 440 buah. Industri manufaktur di Kota Surabaya melonjak hingga 300% (Purnawan Basundoro: 2012). Kegiatan bisnis, Industri, pemerintahan dan pemukiman eropa terpusat di sekitar Jembatan merah. Gudang Senjata, toko mesin uap kapal, pabrik roti, pabrik air mineral, dan beberapa pabrik lain berada di pusat kota. Kawasan tersebut kemudian mengarah ke selatan setelah pemerintah Gemeente membeli lahan di Daerah Ngagel sehinggga banyak industri yang berpindah ke kawasan Ngagel.
Pemberlakuan Cultur stelsel telah melahirkan Perkembangan sektor agraria yang dimulai sejak tahun 1830 telah mendorong kemunculan pabrik pabrik di daerah Kerasidenan Surabaya yang meliputi Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang yang banyak dimiliki oleh orang Eropa dan Cina. Kondisi tahun 1780 sebelum diberlakukannya Cultur stelsel, pengolahan tebu menggunakan tenaga kerbau dimana didekat penggilingannya yang berputar hari dengan hewan penarik yang diganti tiap setengah jam yang harus dipanasi terus menerus untuk memasak hasil perasan tebu sehingga setelah beberapa lama berubah menjadi gula kental berwarna kecoklatan dan siap dicetak menggunakan tempurung kelapa. Kondisi ini berubah pasca diberlakukannya sistem tanam paksa, pemerintah mulai mengimport peralatan mesin untuk penggilingan tebu dengan menggunakan tenaga uap pada beberapa pabrik eropa. Modernisai ini menyebabkan pabrik pabrik yang menggunakan tenaga hewan dan tenaga air mulai terpinggirkan. Penggunaan ketel uap terus meningkat dan mencapai puncaknya pada akhir abad ke 19 mencapai 1.350 unit. Ketel uap, vacuum pans, Centrifuge dan mesin uap banyak diimpor dari inggrisnamun pemeliharaan dan perbaikannya dilakukan secara lokal, pemeliharaan inilah yang nantinya juga akan mendorong lahirnya perusahaan teknik swasta oleh F. J. H Baijer.
Industri berat mulai dirintis sejak awal abad ke 19 dengan dibangunnya industri logam “Constructie Winkle” yang merupakan perusahaan pemerintah yang merintis kemunculan industri mesin swasta di Surabaya. Pada tahun 1808 untuk keperluan pertahanan. Kemudian dalam perkembangannya ini terbagi menjadi dua yaitu bengkel artileri (senjata dan meriam) dan perbengkelan mesin uap. Sedangakan perusahaan mesin swasta yang pertama kali di Surabaya didirikan oleh F. J. Hbaijer pada tahun 1841 yang bernama “Stoomfabriek van F. J. H Baijer” yang bermanfaat bagi reparasi pabrik gula. Tahun 1844 pabrik ini kesulitan biaya dan digadaikan ke pemerintah kemudian diberi nama Artileri Constructif Winkle.kemunculan ini kemudian disusul oleh beberapa perusahaan seperti pabrik besi dan logam “de Volharding”, perusahaan galangan kapal (Curtis, Dormaar, Kramer, Essink, de Hoog, Zunthuys). Untuk memenuhi kebutuhan reparasi mesin pabrik gula juga didirikan perusahaan N. V Machinefabriek pada tahun 1858. Menjelang tahun 1863 bengkel reparasi tidak bisa lagi mengatasi mesin mesin yang rusak sehingga melahirkan pabrik pabrik mesin seperti N. V Fabriek van stoom en werktuigen Kalimas tahun 1875, Lingerwood Manufacturing Co Ltd tahun 1877, N. V soerabasjhe Machine Handel voorhen Becker Co tahun 1883. Sehingga awal abad ke 20 kebutuhan akan mesin semakin meningkat yang kemudian mendorong lahirnya pabrik permesinan yang lebih besar.
Perkembangan industri yang pesat ini juga telah mendorong penyebaran bangunan baja bagi konstruksi pembukaan jalur kereta api yang ditetapkan berdasarkan keputusan pemerintah no 141 tahun 1875. Pembukaan jalur ini dilakukan dikawasan timur jurusan Ssurabaya-Pasuruan tahun 1878. Penggunaan baja untuk konstruksi mesin kereta api, rel, stasiun, lokomotif, gerbong dll ini kemudian diikuti pembukaan jalur trem di Surabya tahun 1891 oleh Oast Java Stroomtram Maatschappij (OJS).
Relokasi kawasan Industri di Kawasan Ngagel oleh pemerintah Gemeente tahun 1916 dirintis oleh pabrik mesin N. V Machinefabriek Braat yang mulai dibangun sejak tahun 1920, kemudian disusl oleh N. V Construktiewerkplaats Noordick, serta 3 pabrik mesin lainnya yang berada di kawasan Ngagel.
Artikel ini menjelaskan kondisi industri yang kronologis sejak akhir abad ke 19 hingga awal abad ke 20. Mulai dari perkembangan industri gula yang dilakukan secara tradisional, mulai menggunakan mesin impor hingga pada puncaknya berdiri beberapa industri mesin di Kota Surabaya. Kemunculan industri yang semakin pesat kemudian menjadi perhatian pemerintah dengan dilakukannya relokasi di Kawasan Ngagel.
KESIMPULAN
            Awal perkembangan Industrialisasi di Surabaya mulanya merupakan Supporting Sistem yang mendukung sektor agraria, Agraria semakin pesat mendorog lahirnya mekanisasi sebagai alat untuk mengolah tebu. Hal inilah yang mendorong lahirnya industri mesin  di Surabaya yang ditandai dengan berdirinya beberapa perusahaan mesin di Sekitar Jembatan Merah yang kemudian mengalami relokasi pada tahun 1916 ke Ngagel. Pesatnya industri baja dan mesin ini mendorong timbulnya transportasi khusunya kereta Api dan Trem yang sampai saat ini masih bisa dinikmati keberadaannya.