Cirebon: perkembangannya sebagai Kota
Pantai dan Peranan Pelabuhan dalam Perjalanan Maritim Indonesia
Sejarah kota-kota di indonesia sebagian
besar berkembang di wilayah pantai karena kedudukannya sebagai pelabuhan. Hal
ini dikarenakan aadanya aktivitas ekonomi, budaya, politik, dan sosial banyak
dilakukan melalui laut pada masa lalu.sejarah telah membuktikan bahwa
perdagangan paling ramai dan mudah dilakukan adalah melalui sungai dan laut.
Akibatnya muncul pemukiman pemukiman
disekitar sungai dan pantai. Kemudian dalam perkembangannya pemukiman itu
berubah menjadi kota seiring dengan adanya interaksi antara penduduk asli
dengan pendatangsetelah melalui waktu yang lama. Kelahiran suatu kota yang
melalui proses sejarah yang panjang juga terjadi diberbagai kota kota pantai di
Jawa, salah satunya adalah Cirebon.
Kota Cirebon merupakan kota pantai
yang terletak di ujung timur pantai Utara Jawa Barat. Sejak awal berdirinya
kota Cirebon merupakan sebuah desa yang bernama lemahwungkuk yang menjadi pusat
penyebaran agama islam didaerah sekitarnya. Selanjutnya desa ini berkembang
menjadi kota dengan nama Cirebon yang sesuai dengan toponim daerah tersebut
karena banyak menghasilkan rebon atau udang yang menjadi pusat kerajaan
Cirebon. Pada Jaman VOC Cirebon menjadi pusat perniagaan Belanda di daerah
Batavia dan Jepara, selanjutnya pada masa Hindia Belanda kota ini berkedudukan
sebagai ibukota Kerasidenan, ibu kota Kabupaten, dan sekaligus sebagai ibukota
distrik. Bahkan pada tahun 1906 kota cirebon dijadikan sebagai Gemeente.
Kota pelabuhan ini terletak di teluk
yang terlindungi oleh semenanjung Indramayu dan karang-karang di sebagian lepas
pantai dari terjangan ombak dari arah utara, Jalan masuk untuk berlabuh berada
disebelah timur yang terletak disebelah utara muara sungai Losari. Kondisi ini
telah mendoron Cirebon yang berfungsi sebagai route pelayaran jalan Sutera.
1.1 Kedudukan Cirebon pada Masa Awal Perkembangan Islam
Cirebon merupakan pangkalan penting
dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar bangsa, Lokasinya diantara Jawa
tengah dan Jawa Barat telah membuat Cirebon berperan selain sebagai bandar
pelabuhan juga berperan sebagai Jembatan kebudayaan antara Jawa dan Sunda.
Pembentukan Cirebon tidak dapat dipisahkan dari sejarah Pantai Utara secara
keseluruhan, karena Cirebon tidak hanya
mempunyai hubungan – hubungan dengan
kerajaan Islam seperti Demak, Banten Tuban dan Gresik melainkan juga
berhubungan dengan bandar-bandar seberang lautan seperti Pasai dan Champa yang
tidak dapat dipisahkan dengan persebaran islam di Jawa.
Peranan Cirebon dalam persebaran islam
abad ke 9 hingga abad ke 11M merupakan gejala tumbuhnya islam di Nusantara.
Adanya serangan dari bangsa Mongol
(Tartar) pada abad ke 15 terhadap Baghdad menyebabkan agama islam masuk
dipelosok Nusantara dengan memanfaatkan wahana perdagangan internasional. Jalur
perdagangan melalui laut itulah yang disebut perdagangan jalur Sutra. Wilayah-wilayah pesisir Nusantara lebih mudah
mengadakan hubungan dengan para pedagang islam yang telah membawa dampak sosial
maupun budaya bagi masyarakat setempat. Daerah pesisir utara pantai Jawa pun
telah memiliki beberapa pemukiman orang islam sejak abad ke 11 M kemudian islam
dapat berkembang dengan pesat di Jawa pada abad ke 15 hingga 16 M. Perkembangan
islam yang pesat ini tidak terlepas dari peranan para walisanga dengan
melakukan aktivitasnya dengan mengembangkan dan memperluas wilayah dengan
menjalankan pengaruh melalui lembaga-lembaga pesantren. Salah satu Wali yang
berperan dalam perkembangan islam di Cirebon ketika masa Banten dan Matram
adalah Sunan Gunung Jati. Cirebon sendiri saat itu menjadi Barometer Islamisasi
di daerah Jawa Barat. Awal perkembangan Cirebon sebagai salah satu pusat
perkembangan islam di Pulau Jawa sekaligus tumbuh menjadi pusat kekuatan
politik. Dalam kegiatan politikya, Cirebon berusaha menciptakan keseimbangan
politik baik ke arah timur maupun ke arah barat dengan mejadi salah satu Bandar
perdagangan yang pesat pada masanya sekaligus menjadi kota yang bernafaskan
islam dengan pola-pola penyusunan masyarakat yang Hierarki sosial yang kompleks
Letak Cirebon yang berada antara jalur
Banten dan Jakarta disebelah Barat, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan Giri
disebelah timur telah menjadikan posisi tersebut menjadikan Cirebon berada
ditengah jaringan ekonomi perdagangan, penyiaran islam sekaligus pemantapan
pengetahuan islam ke arah barat dan timur. Tumbuh dan berkembangnya Crebon juga
tidak dapat dipisahkan dari sejumlah sejarah seperti jatuhnya Malaka ke tangan
Portugis yang telah mengubah kondisi geopolitik dan geoekonomi kawasan sekitar
Selat Malaka. Kemantapan posisi
geopolitik Crebon sering di uji oleh tekanan Mataram, walaupun secara langsung
Cirebon tidak pernah mengalami serangan secara fisik langsung dari Mataram.
Namun dalam hal konflik antara Mataram dengan VOC, Cirebon lebih banyak memilih
jalan tengah ketika seorang Kumpeni VOC dalam perjalanan ke Mataram sering
menimbulkan kegusaran bagi Mataram. Karena itu ketika armada Kompeni VOC pada
tahun 1962 berlayar di pantai utara, Cirebon mengundang armada VOC agar
menembakkan meriamnya untukmenimbulkan kesan bahwa belanda memusihi Cirebon.
Pada sisi yang lain pihak Cirebon
seringkali dimanfaatkan oleh Mataram menjadi penghubung antara mataram dan
Banten yang apabila terjadi konflik akan mempersulit kedudukan Cirebon,
sehingga Cirebon akhirnya memilih proteksi Belanda pada tahun 1981. Posisi
Cirebon yang strategis menjadi penghubung bagi Mataram untuk terus menetralisir
Kesultanan Banten, selain itu Cirebon juga menjadi “Buffer Power” Mataram untuk menahan laju Kompeni / VOC yang
berpusat di Batavia, pengamanan politik Mataram terhadap Cirebon tentunya tidak
semata-mata berkaitan dengan posisi politik Mataram sebagai “adi kuasa” di
pulau Jawa pada abad ke 16. Tekanan terhadap Cirebon juga tidak terlepas dari
kedudukan Cirebon sebagai salah satu bandar yang mampu mengembangkan
perdagangan jarak jauh, Cirebon dan wilayah bawahannya dianggap mampu
mengamankan dan menyediakan Logistik militer bagi Operasi Matram ke arah barat
khususnya ke Batavia. Kepentingan inilah yang membuat Cirebon memiliki posisi
khusus bagi Banten, Batavia, Demak kemudian Mataram bahkan sampai ke Giri
Gresik.
1.2 Peranan Pelabuhan Cirebon dan
Daerah Pedalaman
Cirebon merupakan salah satu pelabuhan
penting dipesisir utara Pulau Jawa dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di
kepulauan Indonesia maupun dengan bagian dunia lainnya. Dari pedalaman Cirebon
dihasilkan beras dan bahan pangan lainnya. Daerah pedalaman Cirebon yang
mengelilingi kota merupakan wilayah subur yang terdiri dari daratan rendah
banyak menghasilkan beras untuk diekspor dan dataran tinggi yang berada di
gunung gunung Ciremai, gunung sawal dan gunung Cakrabuana banyak menghasilkan
kayu yang berkualitas baik. Perkembangan
Cirebon dapat dilihat dari adanya persaingan dengan pelabuhan-pelabuhan lain
disekitarnya antara lain Losari, Tegal, Japura, Amparan Jati, Dermayu. Diantara
persaingan tersebut yang paling cepat berkembang adalah pelabuhan Cirebon.
Keterpisahan Cirebon dengan dunia laut ini dimulai ketika VOC berhasil
menanamkan dominasinya di Cirebon sejak tahun 1681 dengan ditandatanganinya
perjanjian pada tanggal 7 januari 1681 antara Cirebon dengan VOC yang
mempengaruhi perjalanan Cirebon sebagai kota dagang adalah bahwa Kompeni
mendapatkan hak Monopoli impor pakaian, kapas, opium, dan monopoli ekspor
seperti lada, kayu, gula, beras, dan rpoduk apapun yang dikehendaki
Kumpeni. Perjnjian ini juga mengatur
bahwa pelayaran pribumi harus mendapatkan lisensi dari VOC dan sangat dibatasi,
tidak semua kapal boleh masuk kecuali atas ijin VOC. Dengan adanya perjanjian
tersebut maka secara politis maupun militer, Cirebon berada dibawah lindungan
Kumpeni. Sebagaimana di kota-kota pelabuhan lainnya di Indonesia pada periode
ini pusat aktivitas orang orang belanda
di Cirebon berada dalam sebuah benteng ang diberi nama De Bescherming yang
dugunakan sebagai tempat tinggal para pejabat VOC.
Mulai pada tahun 1900 posisi pelabuhan
Cilacap sudah tergeser oleh ekspor pelabuhan Cilacap, pada tahun ini nilai
ekspor pelabuhan Cilacap sebanyak 7,6 juta gulden sedangkan nilai ekspor
pelabuhan Cirebon6 juta Gulden. Pada tahun 1914 nilai ekspor pelabuhan Cirebon
hanya separoh dari ekspor pelabuhan Cilacap, kondisi yang sama juga terjadi
pada tahun 1929. Bahkan kurang dari separoh ekspor pelabuhan Cirebon kurang
dari separoh nilai ekspor pelabuhan Cilacap.
Adanya plitik atau sistem tanam paksa
yang timbul akibat adanya liberalisme dari kebijakan kolonial telah membuat
Cirebon sebagai daerah penghasil beras tidak dapat terlepas dari sistem ini
yang diterapkan sejak tahun 1830. Barang komoditi selain beras juga
menghasilkan Kopi, pengangkutan kopi yang menuntut untuk menggunakan jalur
darat sebagai jalur untuk mengangkut hasil kopi, namun karena kondisi jalan
darat yang belum cukup baik. Sehingga di Cirebon yang paling berkembang adalah
jalur sungai yang menghubungkan dengan daerah pedalaman Cirebon. Letak
pelabuhan dan kota Cirebon yang strategis ini tentu akan menjadi pesaing dengan
pelabuhan disekitarnya. Saat itu kota Cilacap yang juga berkembang menjadi kota
pelabuhan merupakan saingan dari pelabuhan Cirebon di masa culturstelsel.
Pelabuhan Cilacap yang terletak di residensi Banyumas dan berbatasan langsung
dengan residen Cirebon dan Pekalongan di sebelah utara dengan laut hindia
belanda disebelah selatan. Di daerah pedalaman Cilacap dan Cirebon berbatasan
secara langsung. kedua pelabuhan ini memilik akses yang sama ke Priangan,dimana
priangan merupakan daerah yang dalam masa pelaksanaan Culturstelsel merupakan
penghasil kopi terbesar di Jawa selain Pasuruan dan Kedu. Dari sinilah
persaingan antara pelabuhan Cirebon dan pelabuhan Cilacap dalam masa
Culturstelsel berkaitan dengan komoditi kopi khususnya dari peringan dan dari
bagian selatan Cirebon ternyata lebih mudah diekspor melalui pelabuhan Cilacap.
Ekspor kopi dari Cilacap pada tahun 1881 bukan hanya berasal dari Bagelan dan
Banyumas melainkan berasal dari Cirebon. Dari jumlah 18.053 pikul kopi yang
diekspor dari Cilacap sebanyak 48.002 pikul berasal dari Priangan dan 1.619
pikul berasal dari Cirebon. Dalam periode tahun 1870-an sampai awal 1880-an
posisi ekspor pelabuhan Cirebon berada diatas pelabuhan Cilacap.
Sejalan
dengan semakin besarnya kepentingan Belanda baik dari piak pemerintah maupun
swasta di pedalaman Cirebon maka peranan pelabuhan dan kota Cirebon semakin
penting bukan hanya sebagai transit komoditi ekspor dan impor tetapi juga
sebagai pusat pengendalian politik kawasan pedalaman. Perkembangan dan
perhatian belanda terhadap pelabuhan Cirebon
yang sejak awal abad ke 20 menjadi pelabuhan ekspor Impor terbesar
keempat di Jawa setelah Batavia, Surabaya, dan Smarang. Hal ini telah mendorong
belanda Untuk melakukan berbagai pembenahan terhadap pelabuhan dan kota
Cirebon. Perubahan itu dapat dilihat darikekuasaan keraton yang semakin lemah
secara politik dan ekonomi sehingga lingkungan keraton tidak lagi menjadi pusat
orientasi pemukiman penduduk, namun kedudukannya digantikan oleh pelabuhan yang
merupakan pusat aktivitas VOC serta sebagai tempat orientasi pemekaran wilayah
penduduk.