HUBUNGAN
PATRON-KLIEN DI SULAWESI SELATAN
Hubungan
patron-klien menurut James Scott adalah suatu kasus khusus hubungan antar dua orang
yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental. Di mana seseorang
yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan
sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan
perlindungan/keuntungan/kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah
kedudukannya (klien), yang pada gilirannya akan membalas pemberian tersebut
dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi
kepada patron. Unsur-unsur hubungan patron klien, yaitu pemberian oleh satu pihak merupakan sesuatu
yang berharga di mata pihak yang lain, adanya hubungan timbal balik, dan
norma-norma dalam masyarakat.
Selain itu, juga
terdapat ciri-ciri dari patron-klien/patronase, antara lain terdapatnya ketidaksamaan dalam pertukaran,
adanya sifat tatap muka, dan sifat yang luwes dan meluas.
Menurut Pelras, seorang ahli Ilmu Sosial di Perancis, ikatan
patron-klien di Sulawesi Selatan merupakan unsur kunci dalam masyarakat
Bugis-Makassar dan ikatan patron-klien
ini tidak hanya terdapat di daerah pertanian, tetapi juga terdapat di bidang
pertambakan, dan kehidupan para nelayan. Hubungan patron-klien di kalangan
orang Bugis dapat kita lihat pada pandangan mereka tentang konsep ajjoareng dan joa. Ajjoareng menurut
mereka adalah tokoh pemimpin yang menjadi sumbu kegiatan orang-orang di
sekitarnya yang mengikuti kehendaknya dengan patuh. Sedangkan joa merupakan masyarakat dari golongan
orang maradeka (orang merdeka) yang
setia. Dalam masyarakat Makassar, ajjoareng
/para patron tersebut adalah para karaeng atau ankaraeng, dan joa-joanya
disebut ana-ana atau taunna (orang-orangnya) yang dengan suka
rela menjadi pengikut atau mereka ini merupakan keturunan-keturunan dari para
pengikut sebelumnya. Orang Sulawesi Selatan menyebut hubungan antara karaeng dengan taunna sebagai minawang (mengikuti),
yaitu ikatan antar mereka suka rela sifatnya dan dapat diputuskan setiap saat
(Kooreman,1883:189)
Hubungan patron-klien di Sulawesi Selatan sebenarnya
bukan merupakan gejala baru di sana. Kooreman, seorang pegawai pemerintah
kolonial Belanda telah melihat adanya gejala patronase pada akhir abad XIX.
Pada masa pemerintah kolonial Belanda, di daerah Mandar karaeng-karaeng yang terdapat di satu daerah hanya diakui satu,
yaitu regent. Regent merupakan karaeng yang
telah diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memimpin masyarakat. Sehingga
para pengikut karaeng-karaeng yang
ada harus tunduk pada regent. Namun
pada praktiknya, karaeng yang tidak
diakui oleh, pemerintah kolonial Belanda mengasingkan diri ke suatu wilayah dan
kemudian diikuti oleh para pengikutnya.
Menurut beberapa ahli Ilmu Sosial, dalam analisis
hubungan patron-klien terdapat dua bentuk pendekatan, pendekatan pertama memandang relasi patron-klien sebagai salah satu
upaya manusia untuk dapat bertahan hidup. Pendekatan
kedua memandang gejala patronase sebagai gejala yang muncul karena adanya
kondisi-kondisi tertentu dalam masyarakat.
Sebelum kedatangan Belanda, di Sulawesi Selatan terdapat
kerajaan-kerajaan besar dan kecil serta ada dari beberapa kerajaan-kerajaan itu
yang bergabung karena adanya faktor-faktor. Faktor-faktor itu antara lain,
karena adanya pertalian kekerabatan, letak geografis yang memilki kesamaan dan
berdekatan, dan karena kepemilikan
pusaka bersama.
Dari keadaan politik
atau sistem pemerintahan tersebut dapat dilihat juga mata pencaharian penduduk
Sulawesi Selatan. Sebagian besar penduduk di Sulawesi Selatan bermata
pencaharian sebagai petani, kemudian
mata pencaharian lain yang juga ditekuni oleh masyarakat adalah berdagang kopi, menanam ketela, kacang, pisang serta menangkap ikan di laut.
Hal lain yang sangat terkait dengan hubungan patron-klien
adalah siri, yaitu hal yang abstrak, yang tidak dapat diamati,
tetapi hanya akibatnya saja yang dapat kita lihat, dan bagi orang
Bugis-Makassar ini melekat pada martabatnya sebagai manusia (Mattulada,
t.t.). Siri juga berhubungan dengan
kesaktian yang ada pada diri seseorang dan siri
ini akan berkurang/hilang jika pemiliknya berkelahi karena bukan atas
alasan siri, misalnya alasan
ekonomi,atau yang lainnya. Siri dapat
menjadi pelapis ikatan antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Masyarakat
Bugis-Makassar merupakan masyarakat dengan sistem
kekerabatan bilateral, yaitu seorang individu dapat meruntut kekerabatannya
melalui garis kekerabatan ayah atau ibu. Dengan adanya sistem kekerabatan
bilateral ini, maka jaringan kekerabatan semakin luas.
Perkawinan dalam masyarakat Sulawesi Selatan menjadi
urusan orang tua, hal ini karena perkawinan merupakan salah satu usaha mereka
untuk meningkatkan martabat keluarga. Seorang pria di daerah Sulawesi Selatan akan
berusaha mencari seorang gadis yang setingkat kedudukannya dalam masyarakat,
sedangkan bagi seorang wanita menginginkan untuk menikah dengan golongan yang
lebih tinggi atau paling tidak yang setingkat dengannya, terkecuali di daerah Wajo. Ketinggian martabat seseorang
dapat terlihat dari upacara pernikahan yang diselenggarakan dan jumlah mas
kawin yang diberikan. Besar kecilnya mas kawin diatur dengan mempertimbangkan
tingkat kebangsawanan seseorang, jabatan serta hubungan kekerabatannya.
Berkembangnya hubungan patron-klien di Sulawesi Selatan
selama beberapa tahun didukung oleh beberapa hal, yaitu :
- Adanya
pelapisan kedudukan;
- Adanya
pelapisan kekuasaan;
- Adanya
pelapisan kekayaan yang semuanya dianggap sah oleh masyarakat di sana;
- Adanya
ketidakamanan sosial yang membuat orang-orang di sana terdorong untuk
mencari perlindungan kepada orang yang lebih kuat.
Selain itu hubungan
kekerabatan juga mempengaruhi berkembangnya patron-klien di Sulawesi Selatan,
yaitu dengan adanya hubungan kekerabatan yang bilateral, maka akan terjadi
hubungan yang saling membutuhkan yang dapat membentuk patron-klien. Munculnya
patron-klien di sini menggunakan pendekatan yang pertama dalam analisis
hubungan patron-klien, yaitu hubungan yang terjadi karena adanya kesamaan
kebutuhan atau rasa saling membutuhkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan
patron-klien dapat berkembang di suatu daerah, khususnya di Sulawesi Selatan,
karena didukung oleh beberapa faktor, yaitu keadaan
wilayah, mata pencaharian, sistem kekerabatan dan perkawinan, sistem sosial
serta budaya yang ada dalam masyarakat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar