Selasa, 13 November 2012


HUBUNGAN PATRON-KLIEN DI SULAWESI SELATAN
            Hubungan patron-klien menurut James Scott adalah suatu kasus khusus hubungan antar dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental. Di mana seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan/keuntungan/kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien), yang pada gilirannya akan membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi kepada patron. Unsur-unsur hubungan patron klien, yaitu pemberian oleh satu pihak merupakan sesuatu yang berharga di mata pihak yang lain, adanya hubungan timbal balik, dan norma-norma dalam masyarakat.
Selain itu, juga terdapat ciri-ciri dari patron-klien/patronase, antara lain terdapatnya ketidaksamaan dalam pertukaran, adanya sifat tatap muka, dan sifat yang luwes dan meluas.
            Menurut Pelras, seorang ahli Ilmu Sosial di Perancis, ikatan patron-klien di Sulawesi Selatan merupakan unsur kunci dalam masyarakat Bugis-Makassar  dan ikatan patron-klien ini tidak hanya terdapat di daerah pertanian, tetapi juga terdapat di bidang pertambakan, dan kehidupan para nelayan. Hubungan patron-klien di kalangan orang Bugis dapat kita lihat pada pandangan mereka tentang konsep ajjoareng dan joa. Ajjoareng menurut mereka adalah tokoh pemimpin yang menjadi sumbu kegiatan orang-orang di sekitarnya yang mengikuti kehendaknya dengan patuh. Sedangkan joa merupakan masyarakat dari golongan orang maradeka (orang merdeka) yang setia. Dalam masyarakat Makassar, ajjoareng /para patron  tersebut adalah para karaeng atau ankaraeng, dan joa-joanya disebut ana-ana atau taunna (orang-orangnya) yang dengan suka rela menjadi pengikut atau mereka ini merupakan keturunan-keturunan dari para pengikut sebelumnya. Orang Sulawesi Selatan menyebut hubungan antara karaeng dengan taunna sebagai minawang (mengikuti), yaitu ikatan antar mereka suka rela sifatnya dan dapat diputuskan setiap saat (Kooreman,1883:189)
            Hubungan patron-klien di Sulawesi Selatan sebenarnya bukan merupakan gejala baru di sana. Kooreman, seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda telah melihat adanya gejala patronase pada akhir abad XIX. Pada masa pemerintah kolonial Belanda, di daerah Mandar karaeng-karaeng yang terdapat di satu daerah hanya diakui satu, yaitu regent. Regent merupakan karaeng yang telah diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memimpin masyarakat. Sehingga para pengikut karaeng-karaeng yang ada harus tunduk pada regent. Namun pada praktiknya, karaeng yang tidak diakui oleh, pemerintah kolonial Belanda mengasingkan diri ke suatu wilayah dan kemudian diikuti oleh para pengikutnya.
            Menurut beberapa ahli Ilmu Sosial, dalam analisis hubungan patron-klien terdapat dua bentuk pendekatan, pendekatan pertama memandang relasi patron-klien sebagai salah satu upaya manusia untuk dapat bertahan hidup. Pendekatan kedua memandang gejala patronase sebagai gejala yang muncul karena adanya kondisi-kondisi tertentu dalam masyarakat.
            Sebelum kedatangan Belanda, di Sulawesi Selatan terdapat kerajaan-kerajaan besar dan kecil serta ada dari beberapa kerajaan-kerajaan itu yang bergabung karena adanya faktor-faktor. Faktor-faktor itu antara lain, karena adanya pertalian kekerabatan, letak geografis yang memilki kesamaan dan berdekatan, dan karena kepemilikan pusaka bersama.
Dari keadaan politik atau sistem pemerintahan tersebut dapat dilihat juga mata pencaharian penduduk Sulawesi Selatan. Sebagian besar penduduk di Sulawesi Selatan bermata pencaharian sebagai petani, kemudian mata pencaharian lain yang juga ditekuni oleh masyarakat adalah berdagang kopi, menanam ketela, kacang, pisang serta menangkap ikan di laut.
            Hal lain yang sangat terkait dengan hubungan patron-klien adalah siri, yaitu hal yang abstrak, yang tidak dapat diamati, tetapi hanya akibatnya saja yang dapat kita lihat, dan bagi orang Bugis-Makassar ini melekat pada martabatnya sebagai manusia (Mattulada, t.t.). Siri juga berhubungan dengan kesaktian yang ada pada diri seseorang dan siri ini akan berkurang/hilang jika pemiliknya berkelahi karena bukan atas alasan siri, misalnya alasan ekonomi,atau yang lainnya. Siri dapat menjadi pelapis ikatan antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Masyarakat Bugis-Makassar merupakan masyarakat dengan sistem kekerabatan bilateral, yaitu seorang individu dapat meruntut kekerabatannya melalui garis kekerabatan ayah atau ibu. Dengan adanya sistem kekerabatan bilateral ini, maka jaringan kekerabatan semakin luas.
            Perkawinan dalam masyarakat Sulawesi Selatan menjadi urusan orang tua, hal ini karena perkawinan merupakan salah satu usaha mereka untuk meningkatkan martabat keluarga. Seorang pria di daerah Sulawesi Selatan akan berusaha mencari seorang gadis yang setingkat kedudukannya dalam masyarakat, sedangkan bagi seorang wanita menginginkan untuk menikah dengan golongan yang lebih tinggi atau paling tidak yang setingkat dengannya, terkecuali di daerah Wajo. Ketinggian martabat seseorang dapat terlihat dari upacara pernikahan yang diselenggarakan dan jumlah mas kawin yang diberikan. Besar kecilnya mas kawin diatur dengan mempertimbangkan tingkat kebangsawanan seseorang, jabatan serta hubungan kekerabatannya.
            Berkembangnya hubungan patron-klien di Sulawesi Selatan selama beberapa tahun didukung oleh beberapa hal, yaitu :
  1. Adanya pelapisan kedudukan;
  2. Adanya pelapisan kekuasaan;
  3. Adanya pelapisan kekayaan yang semuanya dianggap sah oleh masyarakat di sana;
  4. Adanya ketidakamanan sosial yang membuat orang-orang di sana terdorong untuk mencari perlindungan kepada orang yang lebih kuat.
Selain itu hubungan kekerabatan juga mempengaruhi berkembangnya patron-klien di Sulawesi Selatan, yaitu dengan adanya hubungan kekerabatan yang bilateral, maka akan terjadi hubungan yang saling membutuhkan yang dapat membentuk patron-klien. Munculnya patron-klien di sini menggunakan pendekatan yang pertama dalam analisis hubungan patron-klien, yaitu hubungan yang terjadi karena adanya kesamaan kebutuhan atau rasa saling membutuhkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan patron-klien dapat berkembang di suatu daerah, khususnya di Sulawesi Selatan, karena didukung oleh beberapa faktor, yaitu keadaan wilayah, mata pencaharian, sistem kekerabatan dan perkawinan, sistem sosial serta budaya yang ada dalam masyarakat tersebut.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar