Rabu, 26 Juni 2013

Perkembangan Ahmadiyah



DINAMIKA PERKEMBANGAN PAHAM AHMADIYAH QODIANIYAH
Ahmadiyah adalah suatu aliran yang meyakini ada nabi setelah Nabi Muhammad saw, mereka meyakini Mirza Gulam Ahmad sebagai Nabi mereka. Selain itu mereka juga mempunyai kitab suci yang dikenal dengan nama Tadzkirah sebagaimana umat islam mempunyai Al-Qur’an
1.      Apa itu Ahmadiyah?
                 Menurut pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, Misi Ahmadiyah adalah untuk menghidupkan islam dan menegakkan Syariah islam. Tujuan didirikan jemaat Ahmadiyah menurut pendirinya adalah untuk meremajakan moral islam dan nilai-nilai spiritual. Ahmadiyah bukanlah sebuah agama baru namun bagian dari islam. Para pengikut ahmadiyah mengamalkan rukun iman dan rukun islam. Gerakan Ahmadiyah menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih dan saling pengertian diantara para pengikut agama yang berbed, serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apapun untuk alasan apapun. Jemaat muslim Ahmadiyah adalah suatu Organisasi keagamaan Internasional yang telah tersebar ke lebih dari 185 negara di dunia.pergerakan jemaat Ahmadiyah dalam islam adalah suatu organisasi keagamaan dengan ruang lingkup internasionalyang memiliki cabang di 174 negara tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia dan Eropa.
2.      Sejarah Penyebaran di Indonesia
Tiga pemuda dari Sumatera Tawalib yakni suatu pesantren di Sumatera barat meninggalkan negerinya untuk menuntut ilmu. Mereka adalah Abu Bakar ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zainal Dahlan. Awalnya mereka akan berangkat ke Mesir untuk menuntut ilmu di Kairo yang saat itu terkenal sebagai pusat studi islam. Namun guru mereka menyarankan agar pergi ke India karena negara tersebut mulai menjadi pusat pemikiran Modernsasi islam. Ketika sampai di Lahore, mereka bertemu dengan ajaran Anjuman Isyati Islam (Ahmadiyah). Setelah berada disana mereka ingin melihat sumber dan pusat Ahmadiyah yang ada di Desa Qadian. Dan setelah mendapatkan penjelasan mereka segera di Bai’at oleh Hadrat Masih II, dan ketiga pemuda itu memutuskan untuk belajar di madrasah Ahmadiyah yang kini disebut Jamiah Ahmadiyah. Merasa puas dengan pengajaran disana, kemudian mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera untuk bergabung dengan ketiga pemuda tersebut. Dua tahun setelah peristiwa itu para pelajar menginginkan agar Hadhrat Masih II untuk berkunjung ke Indonesia. Untuk datang ke Indonesia kemudian Hadrat Masih II mengirimkan wakilnya yakni Maulana Rahmat Ali HAOD yang dikirim sebagai Mubaligh pada tanggal 17 Agustus 1925 dan sampai di Tapaktuan Aceh pada tanggal 2 Oktober 1925. Kemudian berangkat menuju Padang (Sumatera Barat). Kemudian kaum intelek dan orang-orang biasa menggabungkan dirindengan Ahmadiyah. Tahun 1926, jemaah Ahmadiyah resmi berdiri sebagai organisasi. Maulana Rakhmat Ali HAOD berangkat ke Jakarta, perkembangan Ahmadiyah semakin pesat hingga dibentuklah pengurus besar (PB) jemaat Ahmadiyah dengan R. Muhyiddin sebagai ketuanya. Perjuangan Jemaah Ahmadiyah juga terlibat dalam meraih kemerdekaan, banyak para Ahmadi Indonesia yang wafat dibunuh Tentara Belanda pada tahun 1946. Salah satunya adalah R.Muhyiddin yang merupakan tokoh penting dalam perjuangan indonesia merdeka. Ditahun limapuluhan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan legalitas menjadi satu organisasi keormasan di Indonesia dengan dikeluarkannya Badan Hukum oleh Menteri Kehakiman RI No.JA.5/23/13 tertanggal 13-3-1953. Ahmadiyah juga pernah berpolitik, yang kemudian membawa kejatuhan Presiden pertama RI. Namun di era tahun 1970-an, melaui Rabithah Alam al islam menjadi-jadi di awal 19701an, Rabithah Alam al Islam menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, hingga MUI memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Periode 90 an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah bersamaan diluncurkannya Moslem Television Ahmadiyah (MTA).

3.      Kontroversi Ajaran Ahmadiah
menurut ajaran islam, Ahmadiyah dianggap melenceng dari ajaran islam sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Isa Al Masih dan Imam Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslimin yang mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir. Perbedaan Ahmadiyah dengan islam pada umunya juga pada penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Ahmadiah sering dikaitkan dengan kitab Tazkirah yang sebenarnya bukan kitab suci bagi ahmadia, namun hanya merupakan satu buku yang berisi kumpulan pengalaman rohani pendiri jemaat Ahmadiah, layaknya Diary. Adapula yang menyebut bahwa kota suci Jemaat Ahmadiah adalah qadian dan Rabwah. Adanya kota suci Jemaah Ahmadiah adalah sama dengan kota suci umat islam lainnya, yakni Mekkah dan Madinah.

4.      Aqidah Ahmadiah Qodianiyah
diantara paham yang dibangun untuk menghancurkan islam bangunan dan kekuatan islam adalah faham Ahmadiah Qodianiyah. Paham yang didirikan untuk menghancurkan islam dengan cara sembunyi-sembunyi dan tidak frontal, karena dimana kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa semua pihak atau kelompok manusi manapun yang ingin menyerang atau bahkan memusnahkan islam dimuka bumi ini dengan cara berhadapan langsung, mereka tidak dapat mengalahkan islam. Karena jika islam dilawan secara ternag-terangan kekuatan mereka semakin kuat. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Quraisy Mekah yang berusaha menhadang islam, menjatuhkan wibawanya, mengurangi pengikutnya dan menurunkan nama besar islam selalu gagal dengan berbagai cara baik dengan peperangan , adu argumentasi, diskusi ilmiah, dengan menjanjikan kekayaan duniawi atau memberikan ancaman semua cara telah ditempuh namun kekuatan islam tetap eksis dan islam berkembang semakin pesat.
Pengalaman panjang dam pahit ini membuat mereka terinspirasi untuk meubah metode mereka yang keras dan frontal dalam melawan kaum muslimin. Akhirnya mereka memilih perlawanan terhadap umat islam dengan tekhnik penipuan dan pengelabuhan. Mereka kemudian mendirikan faham baru untuk mengelabuhi kaum muslimin dengan mengatasnamakan islam, sehingga sedikit demi sedikit mereka akan bisa mengikis pemikiran-pemikiran islam dari kaum muslimin dan akhirnya menghilangkan islam itu sendiri. Mereka mendirikan Ahmadiah Qodianiah yang kemudian menyebarkan pemikiran-pemikiran aneh yangtidak dikenal oleh kaum muslimin.
Ahmadiah Qidianiah Memiliki Keyakinan sebagai berikut:
Ø  Ahmadiah mempunyai Tuhan yang memiliki sifat-sifat seperti manusia
Ø  Bahwa Nabi dan Rasul Tetap ada hingga hari kiamat
Ø  Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi dan Rasul Allah
Ø  Nabi Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi terbaik dari semua Nabi dan Rasul
Ø  Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu dari Allah
Ø  Mereka memiliki kitab suci tersendiri
Ø  Kota Qodian adalah seperti kota Mekkah al-Mukaromah dan Kota Madinah
Ø  Ibadah haji mereka adalah kehadiran dalam muktamar tahunan di kota Qodian

Struktur Kota Tradisional



  KOTA TRADISIONAL YOGYAKARTA
LINGKUNGAN KERATON NGAYOGYAKARTA

1.      Sejarah Awal Berdirinya Kota Tradisional Yogyakarta
Zaman dahulu, masyarakat Jawa khususnya masyarakat desa menyebut kota dengan istilah dalam bahasa jawa dengan sebutan nagari yang artinya kota atau keraton, karena pada awalnya kota diidentikkan dengan keraton. Dalam bahasa Sangsekerta kota dapat diartikan sebagai benteng atau pertahanan. Dalam bahasa melayu, kota diartikan sebagai benteng yang dipertahankan atas desa sebagai satu kesatuan politik,sehingga ciri-ciri kota yang menonjol adalah peran politiknya.[1] salah satukonsep tentang kota yang tercermin dipulau jawa yang terkenal dengan konsep kota tradisional yang merupakan konsep lokal dalam perkembangan kota di Indonesia. Kota tradisional adalah kota yang merupakan pusat kekuasaan tradisional, pengelolaan kota masih berada di bawah penguasa bumiputera dan belum ada campur tangan dengan bangsa asing. Konsep kota tradisional dalam konteks sejarah kota di barat yang sejajar dengan konsep kota pra-industrial yaitu kota yang belum bersentuhan dengan industrialisasi. Ada kebiasaan pada zaman raja-raja, penduduk kota dan desa memberikan upeti kepada raja. Semakin banyak upeti semakin kuat financial kerajaan dan semakin banyak prasarana dibangun, demikian pula prajurit atau angkatan perangnya semakin kuat.
Salah satu ciri yang paling menonjol dikawasan kota tradisional, terutama Jawa adalah keberadaan keraton, Alun-alun, masjid, pasar dan tembok atau pagar keliling (benteng).dalam tatanan budaya, kota tradisional ditandai antara lain penggunaan teknologi yang masih sederhana, penggunaan teknologi ilmu pengetahuan yang terbatas, serta penggunaan sistem produksi yang masih didominasi oleh tenaga manusia dan tenaga hewan. Penggunaan ilmu pengetahuan yang terbatas ini menyebabkan proses pembangunan kota-kota tradisional memunculkan pemikiran-pemikiran yang tidak rasional dan tidak bisa diterima dengan alam pikir saat ini tentang alasan dibangunnya kota tersebut. Salah satu kota tradisional di Jawa yang dalam proses pendiriannya masih berbau mitos adalah proses pendirian kota Yogyakarta oleh pangeran Mangkubumi atau Hamengkubuwono I yang tidak jauh dari mitos dan hal ramal meramal. Yogyakarta sebenarnya sudah dikenal sebelum kota Yogyakarta didirikan dan dijadikan tempat berdirinya keraton. Wilayah ini dikenal dalam babad Giyanti yang mengisahkan bahwa Sunan Amangkurat telah mendirikan Dalem diwilayah itu, yang bernama Gerjiwati oleh Pakubuwono II yang kemudian dinamakan Ayodya. Menurut cerita nenek moyang seorang kyai bernama Manganjaya memiliki sebuah buku pedoman ramalan. Dari ramalan tersebut dia menyimpulkan bahwa tempat dalam hutan beringin akan menjadi kota. Sejak saat itu dia mengumpulkan batu-batu bagi istana yang akan  dibangun sebagai tanda bukti kepada raja. Namun terlepas dari ramalan tersebut kota Jogjakarta dibangun oleh mangku bumi diatas hutan beringan. Setelah perjanjian gianti ditanda tangani pada tanggal 13 februari 1755 yang menandai pembagian matara menjadi dua yaitu Yogjakarta dan surakarta yang kemudian dikawasan yogyakarta digunakan untuk membangun istana Raja serta rumah-rumah pejabat kerajaan yang kemudian dikenal dengan nama Ngayogyakarta hadinigrat dan terkenal dengan sebutan keraton Yogyakarta.
Sejak didirikan pada tahun 1756 kota Yogyakarta mengalami perkembangan. Kota ini telah menjadi tempat bergabai golongan masyarakat berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangan selanjutnya kota Yogyakarta dipengaruhi oleh situasi kolonial, bermula dari sebuah jalan raya maka berdirilah kantor-kantor pemerintahan asing dan benteng. Kemudian muncul pemukiman Eropa club-club dan lapangan pacuan kuda. Daerah sekitar kota menjadi usah orang Eropa dalam perkebunan, pertanian terutama industri tebu. Jalan kereta dan jembatan penghubunganya banyak didirikan. Para pengrajin bumi putera mendapat tempat dilingkunagn yang miskin, hal ini sejalan dengan pemerintahan asing yang merupakan bagian yang luas dalam kompleks politik, kolonial. Sehingga masa akhir abad ke-19 sampai awal abad ke 20  di Yogyakarta bertemu dua kekuatan besar yaitu kekuatan tradisional dan kolonial. Suatu proses yang menimbulkan pembaruan.[2]
2.      Struktur Kota Tradisional Yogyakarta
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Jawa dengan tipologi kota tradisional, kota ini merupakan ibukota dari Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat yang merupakanpecahan kerajaan Mataram akibat ditandanganinya Perjanjian Giyanti 1755. Pangeran Mangkubumi adalah tokoh yang berperan penting dalam pendirian kota Yogyakarta. Kota ini dibangun dengan diawali pembangunan benteng kraton dengan penhuni awal adalah Sultan (Raja/Pemimpin Kerajaan), para bangsawan yaitu para staff kerajaan dan abdi dalem yaitu para pegawai kerajaan yang menghuni kawasan dalam benteng. Adapun struktur yang terdapat di kota tradisional Yogyakarta adalah sebagai berikut:
1.      Benteng Keraton (Benteng Vreedeburg): Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengat lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Belanda, benteng ini juga memiliki fungsi sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta karena kantor residen letaknya berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg. Seiring dengan perkembangan politik di Indonesia maka status kepemilikan Benteng Vredeburg juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada awal berdirinya benteng ini adalah milik Kraton walaupun dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC). Kebangkrutan VOC pada periode 1788-1799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda) dibawah Gubernur Van Den Burg sampai ke pemerintahan Gubernur Daendels. Ketika Inggris berkuasa maka benteng dibawah penguasaan Gubernur Jenderal Raffles. Status benteng sempat kembali ke pemerintahan Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang di bulan Maret 1942. Pada tanggal 9 Agustus 1980 dengan persetujuan Sri Sultan HB IX Benteng Vredeburg dijadikan sebagai Pusat Informasi dan Pengembangan Budaya Nusantara dan pada tanggal 16 April 1985 dilakukan pemugaran untuk dijadikan Museum Perjuangan, ini dibuka untuk umum pada tahun 1987.

2.      Di Luar benteng terdapat pasar tradisional Bringharjo yang letaknya berada disebelah Utara Benteng kompeni (Vreedeburg) dan satu kompleks dengan keraton. Pasar ini didrikan oleh Sultan Hamengku Buwono I. Nama pasar beringharjo ini diambil dari nama Hutan Beringin yang merupakan nama hutan cikal bakal berdirinya kota jogja. Adanya pasar ini merupakan simbol adanya aktivitas ekonomi dilingkungan keraton sebagai tempat distribusi barang dari desa ke kota serta sebagai tempat pemenuhan barang-barang kebutuhan sehari hari bagi masyarakat desa dan kota.

3.      Area Pertokoan: kawasan pertokoan ini terletak di jalan Jalan yang dikenal dengan jalan malioboro, disamping jalan tersebut juga terdapat pertokoan cina yang didirikan oleh pemerintah Belanda,sehingga belakang pertokoan tersebut juga berdiri kampung pecinan.
4.      Kawasan Keraton: Kraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti. Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari kemungkinan banjir. Kraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti. Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari kemungkinan banjir. keberadaan keraton dalam strultur kota tradisional merupakan hal yang utama, keraton Yogyakarta yang menjadi salah satu icon Jawa merupakan pusat dari budaya jawa. Tidak hanya menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya semata, Kraton juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa, sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut.

5.      Alun-alun:  Salah satu ciri pusat kota maupun pusat pemerintahan, baik itu kerajaan maupun kabupaten ditandai dengan hamparan lapangan rumput yang cukup luas dan sepasang pohon beringin di tengahnya yang dipisahkan oleh jalan akses masuk ke kantor kabupaten yang biasanya juga menjadi kediaman dinas bupati. Lapangan inilah yang dinamakan “Alun-alun”. Namun ada perbedaan antara alun-alun keraton dengan alun-alun kabupaten (kediaman Bupati)  Pada Keraton memiliki dua alun-alun, di depan dan di belakang istana. Sedangkan tempat tinggal resmi Bupati (Kabupaten) yang hanya mempunyai satu alun-alun di depan kabupaten.
Kota kerajaan Tradisional dan Yogyakarta mempunyai dua buah alun-alun, satu terletak di utara Keraton dan satu lagi terletak di selatan Keraton. Alun-alun Lor (utara) dikelilingi oleh bangunan di penjuru mata angin, yakni: Masjid Agung di sebelah Barat, bangunan keraton di sebelah Selatan, pasar di sebelah Utara. Hal yang menarik adalah keberadaan penjara pada sisi sebelah Timur. Konon letak penjara ini didasarkan pada pemikiran agar para terpidana segera menyadari kekeliruannya dan bertobat, karena dipenjara berseberangan dengan tempat ibadah.
Disisi lain alun-alun terdapat  jalan masuk terdapat di tengah-tengah membelah alun-alun. Kemudian pada sisi kanan dan kiri selalu ditanami pohon beringin yang berpagar, karena itu masyarakat (di Jawa) menyebutnya Ringin Kurung, dan biasanya dikeramatkan serta diberi nama Kyai Jayandaru (kemenangan) dan Kyai Dewandaru (keluhuran). Sedangkan sebagian masyarakat menyebutnya Ringin Kembar. Ringin Kembar mengandung makna atau pesan simbolik bahwa Raja atau Bupati bukan sekedar penguasa melainkan juga pengayom (pelindung) bagi rakyatnya.
Alun-alun Kidul (Selatan) Keraton biasanya menyatu berada di dalam benteng (tembok tinggi) sebagai salah satu sistem pertahanan tempo dulu, Pada Alun-alun Kidul biasanya diselenggarakan gladen, latihan perang bagi para prajurit kerajaan secara berkala. Pada saat tertentu gladen ini digelar menjadi tontonan masyarakat.
6.      Kampung kauman
Kauman adalah sebuah kampung yang terletak di KElurahan Ngupasan  yang terletak di kecamatan Gondomanan, Yogyakarta. di selatan Malioboro dan di utara Kraton Nyayogyakarta. Sebelah utara kampung ini dibatasi Jalan K.H.A.Dahlan, sebelah selatan dibatasi Jalan Kauman, sebelah timur dengan batas Jalan Pekapalan dan Jalan Trikora, sementara di sebelah barat dibatasi Jalan Nyai Ahmad DAhlan  atau dulu dikenal dengan Jalan Gerjen.
Di kampung Kauman ini terletak MAsjid Gede yang terkenal. Lapangan masjid ini selalu digunakan untuk acara tahunan grebekan pada setiap penyelenggaraan Sekaten oleh pihak keraton  Yogyakarta. Dahulu merupakan tempat tinggal para abdi dalem pametakan atau Penghulu kraton yaitu abdi dalem/pegawai kraton yang mengurusi bidang keagamaan Islam di lingkungan Kraton Ngayogyakarta hadiningrat
Kauman Yogyakarta dikenal sebagai basis dari organisasi Islam Muhammadiyah, karena di kampung inilah Muhammadiyah didirikan oleh Ahmad Dahlan. Selain K.H.Ahmad Dahlan, tokoh lain yang berasal dari kampung Kauman adalah Ki BAgus HAdikusuma. Konon, karena fanatisnya pada setiap penyelenggaraan pemilu PArtai Amanat NAsional selalu menang besar di sini.  Selain itu tempat ini juga merupakan Komunitas terbesar bagi keturunan Arab di DAerah IStimewa Yogyakarta.
 
7.      Masjid Agung
Masjid Agung Keraton Yogyakarta adalah bangunan masjid yang didirikan di pusat (ibukota) kerajaan. Bangunan ini didirikan semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I. Perencanaan ruang kota Yogyakarta konon didasarkan pada konsep taqwa. Oleh karenanya, komposisi ruang luarnya dibentuk dengan batas-batas berupa penempatan lima masjid kasultanan di empat buah mata angin dengan Masjid Agung sebagai pusatnya. Sedangkan komposisi di dalam menempatkan Tugu (Tugu Pal Putih) - Panggung Krapyak sebagai elemen utama inti ruang. Komposisi ini menempatkan Tugu Pal Putih-Keraton-Panggung Krapyak dalam satu poros.
Bangunan Masjid Agung Keraton Yogyakarta berada di areal seluas kurang lebih 13.000 meter persegi. Areal tersebut dibatasi oleh pagar tembok keliling. Pembangunan masjid itu sendiri dilakukan setelah 16 tahun Keraton Yogyakarta berdiri. Pendirian masjid itu sendiri atas prakarsa dari Kiai Pengulu Faqih Ibrahim Dipaningrat yang pelaksanaannya ditangani oleh Tumenggung Wiryakusuma, seorang arsitek keraton. Pembangunan masjid dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah pembangunan bangunan utama masjid. Tahap kedua adalah pembangunan serambi masjid. Setelah itu dilakukan penambahan-penambahan bangunan lainnya.
Bangunan Masjid Agung terdiri dari beberapa ruang, yaitu halaman masjid, serambi masjid, dan ruang utama masjid. Halaman masjid terdiri atas halaman depan dan halaman belakang. Halaman masjid merupakan ruangan terbuka yang terletak di bagian luar bangunan utama dan serambi masjid. Halaman ini dibatasi oleh tembok keliling. Sedang halaman belakang masjid merupakan makam Nyi Achmad Dahlan dan beberapa makam lainnya.
Ada lima buah pintu yang dapat digunakan untuk memasuki halaman masjid. Dua buah pintu terletak di sisi utara dan selatan. Sedangkan pada sisi timur terdapat sebuah pintu yang berfungsi sebagai pintu gerbang utama. Bentuk pintu gerbang yang sekrang ini adalah semar tinandu dengan atap limasan. Pada kedua sisi gapura ini terdapat dua bangunan yang disebut bangsal prajurit. Pintu gerbang dihubungkan dengan sebuah jalan yang membelah halaman depan menjadi dua bagian. Jalan ini diapit dua buah bangunan yang dinamakan pagongan.
Bangunan serambi masjid dipisahkan dari halaman masjid. Bangunan pemisahan itu berupa pagar tembok keliling dengan lima buah pintu masuk. Pada sisi timur terdapat tiga buah pintu dan satu buah pada sisi utara serta selatan. Bangunan serambi ini juga dikelilingi dengan sebuah parit kecil (kolam) pada sisi utara, timur, dan selatan. Tempat/bangunan yang digunakan untuk berwudhu terdapat di sebelah utara dan selatan serambi.
Bangunan serambi masjid berbentuk denah empat persegi panjang. Serambi didirikan di atas batur setinggi satu meter. Pada serambi ini terdapat 24 tiang berumpak batu yang berbentuk padma. Umpak batu tersebut berpola hias motif pinggir awan yang dipahatkan. Atap serambi masjid berbentuk limasan.
Pada sebelah barat serambi ini berdiri bangunan Masjid Agung yang merupakan ruang utama salat. Ruangan masjid berbentuk denah bujur sangkar. Bangunan ,asjid didirikan di atas batur setinggi 1,7 meter. Pada sisi utara masjid terdapat gedung pengajian, kamar mandi, dan WC untuk pria. Sedang yang diperuntukkan bagi wanita berada pada sisi selatan. Mihrab berada pada dinding sebelah barat. Pada dekat mihrab terdapat sebuah mimbar dan maksurah, masing-masing terletak di sebelah utara dan selatan mihrab. Atap tajug bertumpang tiga menutupi ruang utama Masjid Agung ini. Pada puncak atap terdapat mustaka. Ketiga atap masjid ini didukung oleh dinding tembok pada keempat sisi ruangan dan tiang berjumlah 36 buah. Tiang-tiang tersebut berpenampang bulat tanpa hiasan (polos). Ketiga puluh enam tiang tersebut terdiri atas empat buah saka guru, 12 saka rawa, dan 20 saka emper.
DAFTAR PUSTAKA

Hariyono, Paulus. 2008. Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Surabaya: Bumi Aksara
Anam, Sidik Jatmika dan Zahrul. 2010. Kauman: Muhammadiyah “Undercover”. Yogyakarta: Penerbit Gelanggang
Sarjomiharjo. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe “sejarah sosial 1880-1930”. jakarta: komunitas bambu


[1] sosiologi kota untuk arsitektur
[2] Kota Yogyakarta Tempo Doeloe “sejarah sosial 1880-1930”  sarjomiharjo, jakarta: komunitas bambu.

Selasa, 25 Juni 2013

Sejarah Agraria dan Perkebuanan di JAwa Utara



Kuli-kuli Parit, Wanita Penyiangan dan Snijvolk
Pekerja-pekerja Indsutri Gula Jawa Utara Awal Abad ke-20

Studi Kasus di Pabrik Gula Pekalongan-Tegal
Indonesia dimasa kolonial yang merupakan basis perkebunan tebu banyak menyerap tenaga kerja siring dengan munculnya pabrik atau industri gula. Salah satu industri gula yang muncul di sepanjang pantai utara Jawa salah satunya adalah Industri gula Pekalongan-Tegal. Produksi gula diwilayah ini sebenarnya telah ada jauh sebelum diberlakukannya sistem tanam paksa, sebelum dikuasai oleh kolonial, industri gula ini berada dibawah pengusaha China yang menetap diwilayah tersebut. Perkembangan yang tidak teratur berkembang hingga tahun 1830-an.  Setelah 1830-an komoditi gula menjadi industri utama yang berorientasi ekspor. Bahkan di kerasidenan Tegal dan Pekalongan muncul 12 pabrik gula skala besar yang dimiliki oleh Belanda. Perkembangan gula yang semakin meningkat tentu diikuti pula dengan permintaan lahan dan tenaga kerja.
Dalam proses pengolahan tebu hingga menjadi gula diperlukan dua jenis tenaga kerja dalam tahapan-tahapannya, diantaranya yaitu tenaga kerja yang fokus pada persiapan penanaman tebu hingga panen dan tenaga kerja pascapanen (Campaign). Kedua proses itu tentu memerlukan tenaga kerja kasar dalam pengerjaannya. makanisasi yang dilakukan hanya sebatas pengangkutan tebu dengan mesin uap sehingga tenaga manusia masih sangat dibutuhkan dalam proses pengolahannya.
Tenaga kerja masa itu juga dibagi bagi sesuai dengan tugasnya, persiapan penanaman adalah kuli parit (geulenkoelies) yang berjumlah ribuan ditugaskan di lapangan dalam penggalian saluran air, irigasi dan yang paling utama dilakukan adalah membuat lubang tanah yang dalam untuk menanam tebu. Wanita penyiang (Weedwoman) merupakan pekerjaan yang tak kalah pentingnya meskipun kebanyakan pekerjanya adalah wanita yang ditugaskan untuk pemeliharaan dan pemupukan yang umumnya anak anak dan wanita yang dipekerjakan digaji rendah. Tenaga kerja yang tergolong tenaga pasca panen (Campaign) dengan tugas mencangkil tebu yang telah masak kemudian mengangkutnya ke gerbong kereta dan dikirim ke pabrik untuk diproses. Tenaga kerja yang bertugas mengoperasikan pabrik itu sendiri dibagi waktu kerjanya siang dan malam. Bisa dibayangkan urbanisasi dikerasidenan saat itu juga tentu akan mengalami peningkatan yang tajam. Dalam kerja pasca panen ini juga memerlukan kerja tim yang biasa disebut Ploeg yang biasanya bekerja dibawah mandor.
Banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan dalam produksi gula saat itu tidak bisa terlepas dari sitem tanam paksa yang diterapkan kolonial. Penduduk pribumi harus menyerahkan tanah untuk ditanami tebu dan bekerja diperkebunan. Namun tidak semua petani yang menyewakan tanahnya bekerja di industri gula, banyak diantara mereka bekerja di daerah kota dengan pertimbangan gaji. Sehingga tenaga kerja juga banyak didatangkan dari luar daerah perbatasan pabrik. Tenaga kerja tidak dipekerjakan secara rutin setiap tahunnya karena umur tebu yang relatif panjang, sehingga menimbulkan tenaga musiman yang berpindah dari satu areal ke areal lainnya. Banyaknya industri gula yang berdiri saat itu juga bersaing dalam hal pemberian gaji yang tinggi.
Ciri ekonomi pribumi awal abad ke-20 di Pekalongan-Tegal dan persaingannya merupakan sebuah gambaran yang berasal dari sumber industri resmi pertanian lokal dan ekonomi lepas ladang yang dinilai kurang berhasil dalam dalam penggunaan tenaga kerja industri gula yang tersedia didaerah. Akibatnya saat industri gula memerlukan tenaga kerja sebenarnya merupakan saat kematian bagi pertanian penduduk asli.
Komposisi pekerja musiman yang bekerja diperkebunan Jawa tidak terlepas dari daerah daerah disekitanya, seperti yang terjadi di Jawa barat yang bergantung pada tenaga kerja musiman dari Cirebon, sedangkan di Jawa timur bergantung pada perpindahan pekerja musiman dari pulau Madura. Seperti yang terjadi di Pabrik gula Pekalongan-Tegal yang menggunakan orang orang luar dalam jumlah yang banyak telah menjadi ciri pada semua sektor produksi. Para pekerja tersebut datang sebagai migran temporer secara musiman yang biasanya berasal dari daerah timur cirebon.
            Penyediaan pekerja industri gula dilakukan oleh agen-agen pemerintah dimana sistem pembayaran dilakukan dengan sistem pembayaran uang muka, para perantara (mandor) dibayar tunai kemudian memberikan kepada pekerja dalam bentuk pembayaran dimuka. Namun sistem ini tidak disukai karena sering menimbulkan konflik dalam persaingan antar perusahaan gula. Namun kuli bebas yang bekerja tanpa dipertahankan oleh pebrik tidak pernah mendapatkan pembayaran dimuka. Tenaga-tenaga dibayar berdasarkan pekerjaan yang dilakukan.