KOTA
TRADISIONAL YOGYAKARTA
LINGKUNGAN
KERATON NGAYOGYAKARTA
1.
Sejarah
Awal Berdirinya Kota Tradisional Yogyakarta
Zaman dahulu, masyarakat Jawa khususnya
masyarakat desa menyebut kota dengan istilah dalam bahasa jawa dengan sebutan nagari yang artinya kota atau keraton,
karena pada awalnya kota diidentikkan dengan keraton. Dalam bahasa Sangsekerta
kota dapat diartikan sebagai benteng atau pertahanan. Dalam bahasa melayu, kota
diartikan sebagai benteng yang dipertahankan atas desa sebagai satu kesatuan
politik,sehingga ciri-ciri kota yang menonjol adalah peran politiknya.[1] salah satukonsep tentang kota yang
tercermin dipulau jawa yang terkenal dengan konsep kota tradisional yang
merupakan konsep lokal dalam perkembangan kota di Indonesia. Kota tradisional
adalah kota yang merupakan pusat kekuasaan tradisional, pengelolaan kota masih
berada di bawah penguasa bumiputera dan belum ada campur tangan dengan bangsa
asing. Konsep kota tradisional dalam konteks sejarah kota di barat yang sejajar
dengan konsep kota pra-industrial yaitu kota yang belum bersentuhan dengan
industrialisasi. Ada kebiasaan pada zaman raja-raja, penduduk kota dan desa
memberikan upeti kepada raja. Semakin banyak upeti semakin kuat financial
kerajaan dan semakin banyak prasarana dibangun, demikian pula prajurit atau
angkatan perangnya semakin kuat.
Salah satu ciri yang paling menonjol
dikawasan kota tradisional, terutama Jawa adalah keberadaan keraton, Alun-alun,
masjid, pasar dan tembok atau pagar keliling (benteng).dalam tatanan budaya,
kota tradisional ditandai antara lain penggunaan teknologi yang masih
sederhana, penggunaan teknologi ilmu pengetahuan yang terbatas, serta
penggunaan sistem produksi yang masih didominasi oleh tenaga manusia dan tenaga
hewan. Penggunaan ilmu pengetahuan yang terbatas ini menyebabkan proses
pembangunan kota-kota tradisional memunculkan pemikiran-pemikiran yang tidak
rasional dan tidak bisa diterima dengan alam pikir saat ini tentang alasan
dibangunnya kota tersebut. Salah satu kota tradisional di Jawa yang dalam
proses pendiriannya masih berbau mitos adalah proses pendirian kota Yogyakarta
oleh pangeran Mangkubumi atau Hamengkubuwono I yang tidak jauh dari mitos dan
hal ramal meramal. Yogyakarta sebenarnya sudah dikenal sebelum kota Yogyakarta
didirikan dan dijadikan tempat berdirinya keraton. Wilayah ini dikenal dalam
babad Giyanti yang mengisahkan bahwa Sunan Amangkurat telah mendirikan Dalem
diwilayah itu, yang bernama Gerjiwati oleh Pakubuwono II yang kemudian
dinamakan Ayodya. Menurut cerita nenek moyang seorang kyai bernama Manganjaya
memiliki sebuah buku pedoman ramalan. Dari ramalan tersebut dia menyimpulkan
bahwa tempat dalam hutan beringin akan menjadi kota. Sejak saat itu dia
mengumpulkan batu-batu bagi istana yang akan
dibangun sebagai tanda bukti kepada raja. Namun terlepas dari ramalan
tersebut kota Jogjakarta dibangun oleh mangku bumi diatas hutan beringan.
Setelah perjanjian gianti ditanda tangani pada tanggal 13 februari 1755 yang
menandai pembagian matara menjadi dua yaitu Yogjakarta dan surakarta yang
kemudian dikawasan yogyakarta digunakan untuk membangun istana Raja serta rumah-rumah
pejabat kerajaan yang kemudian dikenal dengan nama Ngayogyakarta hadinigrat dan terkenal dengan sebutan keraton
Yogyakarta.
Sejak didirikan pada tahun 1756 kota
Yogyakarta mengalami perkembangan. Kota ini telah menjadi tempat bergabai
golongan masyarakat berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
perkembangan selanjutnya kota Yogyakarta dipengaruhi oleh situasi kolonial,
bermula dari sebuah jalan raya maka berdirilah kantor-kantor pemerintahan asing
dan benteng. Kemudian muncul pemukiman Eropa club-club dan lapangan pacuan
kuda. Daerah sekitar kota menjadi usah orang Eropa dalam perkebunan, pertanian
terutama industri tebu. Jalan kereta dan jembatan penghubunganya banyak
didirikan. Para pengrajin bumi putera mendapat tempat dilingkunagn yang miskin,
hal ini sejalan dengan pemerintahan asing yang merupakan bagian yang luas dalam
kompleks politik, kolonial. Sehingga masa akhir abad ke-19 sampai awal abad ke
20 di Yogyakarta bertemu dua kekuatan
besar yaitu kekuatan tradisional dan kolonial. Suatu proses yang menimbulkan
pembaruan.[2]
2.
Struktur
Kota Tradisional Yogyakarta
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Jawa
dengan tipologi kota tradisional, kota ini merupakan ibukota dari Kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat yang merupakanpecahan kerajaan Mataram akibat
ditandanganinya Perjanjian Giyanti 1755. Pangeran Mangkubumi adalah tokoh yang
berperan penting dalam pendirian kota Yogyakarta. Kota ini dibangun dengan
diawali pembangunan benteng kraton dengan
penhuni awal adalah Sultan (Raja/Pemimpin Kerajaan), para bangsawan yaitu para
staff kerajaan dan abdi dalem yaitu para pegawai kerajaan yang menghuni kawasan
dalam benteng. Adapun struktur yang terdapat di kota tradisional Yogyakarta
adalah sebagai berikut:
1.
Benteng
Keraton (Benteng Vreedeburg): Benteng Vredeburg
Yogyakarta berdiri terkait erat dengat lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Pada
masa pemerintahan Belanda, benteng ini juga memiliki fungsi sebagai tempat
perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta karena kantor
residen letaknya berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg. Seiring dengan
perkembangan politik di Indonesia maka status kepemilikan Benteng Vredeburg
juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada awal berdirinya benteng ini
adalah milik Kraton walaupun dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda
(VOC). Kebangkrutan VOC pada periode 1788-1799 menyebabkan penguasaan benteng
diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda) dibawah Gubernur Van
Den Burg sampai ke pemerintahan Gubernur Daendels. Ketika Inggris berkuasa maka
benteng dibawah penguasaan Gubernur Jenderal Raffles. Status benteng sempat
kembali ke pemerintahan Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang di
bulan Maret 1942. Pada tanggal 9 Agustus 1980 dengan persetujuan Sri Sultan HB
IX Benteng Vredeburg dijadikan sebagai Pusat Informasi dan Pengembangan Budaya Nusantara
dan pada tanggal 16 April 1985 dilakukan pemugaran untuk dijadikan Museum
Perjuangan, ini dibuka untuk umum pada tahun 1987.
2.
Di
Luar benteng terdapat pasar tradisional Bringharjo
yang letaknya berada disebelah Utara Benteng kompeni (Vreedeburg) dan satu
kompleks dengan keraton. Pasar ini didrikan oleh Sultan Hamengku Buwono I. Nama
pasar beringharjo ini diambil dari nama Hutan Beringin yang merupakan nama
hutan cikal bakal berdirinya kota jogja. Adanya pasar ini merupakan simbol
adanya aktivitas ekonomi dilingkungan keraton sebagai tempat distribusi barang
dari desa ke kota serta sebagai tempat pemenuhan barang-barang kebutuhan sehari
hari bagi masyarakat desa dan kota.
3.
Area
Pertokoan: kawasan pertokoan ini terletak di jalan Jalan yang dikenal
dengan jalan malioboro, disamping jalan tersebut juga terdapat pertokoan cina
yang didirikan oleh pemerintah Belanda,sehingga belakang pertokoan tersebut
juga berdiri kampung pecinan.
4.
Kawasan
Keraton: Kraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi
pada tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti.
Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah
tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari
kemungkinan banjir. Kraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada
tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti.
Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah
tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari
kemungkinan banjir. keberadaan keraton dalam strultur kota tradisional
merupakan hal yang utama, keraton Yogyakarta yang menjadi salah satu icon Jawa
merupakan pusat dari budaya jawa. Tidak hanya menjadi tempat tinggal raja dan
keluarganya semata, Kraton juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa,
sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut.
5.
Alun-alun: Salah satu ciri pusat kota maupun pusat
pemerintahan, baik itu kerajaan maupun kabupaten ditandai dengan hamparan
lapangan rumput yang cukup luas dan sepasang pohon beringin di tengahnya yang
dipisahkan oleh jalan akses masuk ke kantor kabupaten yang biasanya juga
menjadi kediaman dinas bupati. Lapangan inilah yang dinamakan “Alun-alun”.
Namun ada perbedaan antara alun-alun keraton dengan alun-alun kabupaten
(kediaman Bupati) Pada Keraton memiliki
dua alun-alun, di depan dan di belakang istana. Sedangkan tempat tinggal resmi
Bupati (Kabupaten) yang hanya mempunyai satu alun-alun di depan kabupaten.
Kota
kerajaan Tradisional dan Yogyakarta mempunyai dua buah alun-alun, satu terletak
di utara Keraton dan satu lagi terletak di selatan Keraton. Alun-alun Lor (utara) dikelilingi oleh
bangunan di penjuru mata angin, yakni: Masjid Agung di sebelah Barat, bangunan
keraton di sebelah Selatan, pasar di sebelah Utara. Hal yang menarik adalah
keberadaan penjara pada sisi sebelah Timur. Konon letak penjara ini didasarkan
pada pemikiran agar para terpidana segera menyadari kekeliruannya dan bertobat,
karena dipenjara berseberangan dengan tempat ibadah.
Disisi
lain alun-alun terdapat jalan masuk
terdapat di tengah-tengah membelah alun-alun. Kemudian pada sisi kanan dan kiri
selalu ditanami pohon beringin yang berpagar, karena itu masyarakat (di Jawa)
menyebutnya Ringin Kurung, dan biasanya dikeramatkan serta diberi nama Kyai
Jayandaru (kemenangan) dan Kyai Dewandaru (keluhuran). Sedangkan
sebagian masyarakat menyebutnya Ringin Kembar. Ringin Kembar mengandung
makna atau pesan simbolik bahwa Raja atau Bupati bukan sekedar penguasa
melainkan juga pengayom (pelindung) bagi rakyatnya.
Alun-alun Kidul (Selatan) Keraton biasanya
menyatu berada di dalam benteng (tembok tinggi) sebagai salah satu sistem
pertahanan tempo dulu, Pada Alun-alun Kidul biasanya diselenggarakan gladen,
latihan perang bagi para prajurit kerajaan secara berkala. Pada saat tertentu gladen
ini digelar menjadi tontonan masyarakat.
6.
Kampung
kauman
Kauman adalah sebuah kampung yang
terletak di KElurahan Ngupasan yang terletak di kecamatan Gondomanan, Yogyakarta. di selatan Malioboro
dan di utara Kraton Nyayogyakarta. Sebelah utara kampung ini dibatasi Jalan
K.H.A.Dahlan, sebelah selatan dibatasi Jalan Kauman, sebelah timur dengan batas
Jalan Pekapalan dan Jalan Trikora, sementara di sebelah barat dibatasi Jalan Nyai Ahmad DAhlan atau dulu dikenal dengan Jalan Gerjen.
Di kampung Kauman ini terletak MAsjid Gede yang terkenal.
Lapangan masjid ini selalu digunakan untuk acara tahunan grebekan pada setiap
penyelenggaraan Sekaten oleh pihak keraton
Yogyakarta. Dahulu merupakan tempat tinggal para abdi dalem pametakan atau
Penghulu kraton yaitu abdi dalem/pegawai kraton yang mengurusi bidang keagamaan
Islam di lingkungan Kraton Ngayogyakarta hadiningrat
Kauman Yogyakarta dikenal sebagai basis dari organisasi Islam Muhammadiyah,
karena di kampung inilah Muhammadiyah didirikan oleh Ahmad Dahlan. Selain K.H.Ahmad Dahlan, tokoh lain yang berasal dari kampung
Kauman adalah Ki BAgus HAdikusuma. Konon, karena fanatisnya
pada setiap penyelenggaraan pemilu PArtai Amanat NAsional selalu menang besar
di sini. Selain itu tempat ini juga
merupakan Komunitas
terbesar bagi keturunan Arab di DAerah IStimewa Yogyakarta.
7.
Masjid
Agung
Masjid Agung Keraton Yogyakarta adalah bangunan
masjid yang didirikan di pusat (ibukota) kerajaan. Bangunan ini didirikan
semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I. Perencanaan ruang kota Yogyakarta
konon didasarkan pada konsep taqwa. Oleh karenanya, komposisi ruang luarnya
dibentuk dengan batas-batas berupa penempatan lima masjid kasultanan di empat
buah mata angin dengan Masjid Agung sebagai pusatnya. Sedangkan komposisi di
dalam menempatkan Tugu (Tugu Pal Putih) - Panggung Krapyak sebagai elemen utama
inti ruang. Komposisi ini menempatkan Tugu Pal Putih-Keraton-Panggung Krapyak
dalam satu poros.
Bangunan Masjid Agung Keraton Yogyakarta berada
di areal seluas kurang lebih 13.000 meter persegi. Areal tersebut dibatasi oleh
pagar tembok keliling. Pembangunan masjid itu sendiri dilakukan setelah 16
tahun Keraton Yogyakarta berdiri. Pendirian masjid itu sendiri atas prakarsa
dari Kiai Pengulu Faqih Ibrahim Dipaningrat yang pelaksanaannya ditangani oleh
Tumenggung Wiryakusuma, seorang arsitek keraton. Pembangunan masjid dilakukan
secara bertahap. Tahap pertama adalah pembangunan bangunan utama masjid. Tahap
kedua adalah pembangunan serambi masjid. Setelah itu dilakukan
penambahan-penambahan bangunan lainnya.
Bangunan Masjid Agung terdiri dari beberapa ruang,
yaitu halaman masjid, serambi masjid, dan ruang utama masjid. Halaman masjid
terdiri atas halaman depan dan halaman belakang. Halaman masjid merupakan
ruangan terbuka yang terletak di bagian luar bangunan utama dan serambi masjid.
Halaman ini dibatasi oleh tembok keliling. Sedang halaman belakang masjid
merupakan makam Nyi Achmad Dahlan dan beberapa makam lainnya.
Ada lima buah pintu yang dapat digunakan untuk
memasuki halaman masjid. Dua buah pintu terletak di sisi utara dan selatan.
Sedangkan pada sisi timur terdapat sebuah pintu yang berfungsi sebagai pintu
gerbang utama. Bentuk pintu gerbang yang sekrang ini adalah semar tinandu
dengan atap limasan. Pada kedua sisi gapura ini terdapat dua bangunan yang
disebut bangsal prajurit. Pintu gerbang dihubungkan dengan sebuah jalan yang
membelah halaman depan menjadi dua bagian. Jalan ini diapit dua buah bangunan
yang dinamakan pagongan.
Bangunan serambi masjid dipisahkan dari halaman
masjid. Bangunan pemisahan itu berupa pagar tembok keliling dengan lima buah
pintu masuk. Pada sisi timur terdapat tiga buah pintu dan satu buah pada sisi
utara serta selatan. Bangunan serambi ini juga dikelilingi dengan sebuah parit
kecil (kolam) pada sisi utara, timur, dan selatan. Tempat/bangunan yang
digunakan untuk berwudhu terdapat di sebelah utara dan selatan serambi.
Bangunan serambi masjid berbentuk denah empat
persegi panjang. Serambi didirikan di atas batur setinggi satu meter. Pada
serambi ini terdapat 24 tiang berumpak batu yang berbentuk padma. Umpak batu
tersebut berpola hias motif pinggir awan yang dipahatkan. Atap serambi masjid
berbentuk limasan.
Pada sebelah barat serambi ini berdiri bangunan
Masjid Agung yang merupakan ruang utama salat. Ruangan masjid berbentuk denah
bujur sangkar. Bangunan ,asjid didirikan di atas batur setinggi 1,7 meter. Pada
sisi utara masjid terdapat gedung pengajian, kamar mandi, dan WC untuk pria.
Sedang yang diperuntukkan bagi wanita berada pada sisi selatan. Mihrab berada
pada dinding sebelah barat. Pada dekat mihrab terdapat sebuah mimbar dan
maksurah, masing-masing terletak di sebelah utara dan selatan mihrab. Atap
tajug bertumpang tiga menutupi ruang utama Masjid Agung ini. Pada puncak atap
terdapat mustaka. Ketiga atap masjid ini didukung oleh dinding tembok pada
keempat sisi ruangan dan tiang berjumlah 36 buah. Tiang-tiang tersebut
berpenampang bulat tanpa hiasan (polos). Ketiga puluh enam tiang tersebut
terdiri atas empat buah saka guru, 12 saka rawa, dan 20 saka emper.
DAFTAR PUSTAKA
Hariyono,
Paulus. 2008. Sosiologi Kota Untuk
Arsitek. Surabaya: Bumi Aksara
Anam,
Sidik Jatmika dan Zahrul. 2010. Kauman:
Muhammadiyah “Undercover”. Yogyakarta: Penerbit Gelanggang
Sarjomiharjo.
Kota Yogyakarta Tempo Doeloe “sejarah
sosial 1880-1930”. jakarta: komunitas bambu
makasih yah kakak..
BalasHapusmakasih yah kakak..
BalasHapus