Selasa, 25 Juni 2013

Sejarah Agraria dan Perkebuanan di JAwa Utara



Kuli-kuli Parit, Wanita Penyiangan dan Snijvolk
Pekerja-pekerja Indsutri Gula Jawa Utara Awal Abad ke-20

Studi Kasus di Pabrik Gula Pekalongan-Tegal
Indonesia dimasa kolonial yang merupakan basis perkebunan tebu banyak menyerap tenaga kerja siring dengan munculnya pabrik atau industri gula. Salah satu industri gula yang muncul di sepanjang pantai utara Jawa salah satunya adalah Industri gula Pekalongan-Tegal. Produksi gula diwilayah ini sebenarnya telah ada jauh sebelum diberlakukannya sistem tanam paksa, sebelum dikuasai oleh kolonial, industri gula ini berada dibawah pengusaha China yang menetap diwilayah tersebut. Perkembangan yang tidak teratur berkembang hingga tahun 1830-an.  Setelah 1830-an komoditi gula menjadi industri utama yang berorientasi ekspor. Bahkan di kerasidenan Tegal dan Pekalongan muncul 12 pabrik gula skala besar yang dimiliki oleh Belanda. Perkembangan gula yang semakin meningkat tentu diikuti pula dengan permintaan lahan dan tenaga kerja.
Dalam proses pengolahan tebu hingga menjadi gula diperlukan dua jenis tenaga kerja dalam tahapan-tahapannya, diantaranya yaitu tenaga kerja yang fokus pada persiapan penanaman tebu hingga panen dan tenaga kerja pascapanen (Campaign). Kedua proses itu tentu memerlukan tenaga kerja kasar dalam pengerjaannya. makanisasi yang dilakukan hanya sebatas pengangkutan tebu dengan mesin uap sehingga tenaga manusia masih sangat dibutuhkan dalam proses pengolahannya.
Tenaga kerja masa itu juga dibagi bagi sesuai dengan tugasnya, persiapan penanaman adalah kuli parit (geulenkoelies) yang berjumlah ribuan ditugaskan di lapangan dalam penggalian saluran air, irigasi dan yang paling utama dilakukan adalah membuat lubang tanah yang dalam untuk menanam tebu. Wanita penyiang (Weedwoman) merupakan pekerjaan yang tak kalah pentingnya meskipun kebanyakan pekerjanya adalah wanita yang ditugaskan untuk pemeliharaan dan pemupukan yang umumnya anak anak dan wanita yang dipekerjakan digaji rendah. Tenaga kerja yang tergolong tenaga pasca panen (Campaign) dengan tugas mencangkil tebu yang telah masak kemudian mengangkutnya ke gerbong kereta dan dikirim ke pabrik untuk diproses. Tenaga kerja yang bertugas mengoperasikan pabrik itu sendiri dibagi waktu kerjanya siang dan malam. Bisa dibayangkan urbanisasi dikerasidenan saat itu juga tentu akan mengalami peningkatan yang tajam. Dalam kerja pasca panen ini juga memerlukan kerja tim yang biasa disebut Ploeg yang biasanya bekerja dibawah mandor.
Banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan dalam produksi gula saat itu tidak bisa terlepas dari sitem tanam paksa yang diterapkan kolonial. Penduduk pribumi harus menyerahkan tanah untuk ditanami tebu dan bekerja diperkebunan. Namun tidak semua petani yang menyewakan tanahnya bekerja di industri gula, banyak diantara mereka bekerja di daerah kota dengan pertimbangan gaji. Sehingga tenaga kerja juga banyak didatangkan dari luar daerah perbatasan pabrik. Tenaga kerja tidak dipekerjakan secara rutin setiap tahunnya karena umur tebu yang relatif panjang, sehingga menimbulkan tenaga musiman yang berpindah dari satu areal ke areal lainnya. Banyaknya industri gula yang berdiri saat itu juga bersaing dalam hal pemberian gaji yang tinggi.
Ciri ekonomi pribumi awal abad ke-20 di Pekalongan-Tegal dan persaingannya merupakan sebuah gambaran yang berasal dari sumber industri resmi pertanian lokal dan ekonomi lepas ladang yang dinilai kurang berhasil dalam dalam penggunaan tenaga kerja industri gula yang tersedia didaerah. Akibatnya saat industri gula memerlukan tenaga kerja sebenarnya merupakan saat kematian bagi pertanian penduduk asli.
Komposisi pekerja musiman yang bekerja diperkebunan Jawa tidak terlepas dari daerah daerah disekitanya, seperti yang terjadi di Jawa barat yang bergantung pada tenaga kerja musiman dari Cirebon, sedangkan di Jawa timur bergantung pada perpindahan pekerja musiman dari pulau Madura. Seperti yang terjadi di Pabrik gula Pekalongan-Tegal yang menggunakan orang orang luar dalam jumlah yang banyak telah menjadi ciri pada semua sektor produksi. Para pekerja tersebut datang sebagai migran temporer secara musiman yang biasanya berasal dari daerah timur cirebon.
            Penyediaan pekerja industri gula dilakukan oleh agen-agen pemerintah dimana sistem pembayaran dilakukan dengan sistem pembayaran uang muka, para perantara (mandor) dibayar tunai kemudian memberikan kepada pekerja dalam bentuk pembayaran dimuka. Namun sistem ini tidak disukai karena sering menimbulkan konflik dalam persaingan antar perusahaan gula. Namun kuli bebas yang bekerja tanpa dipertahankan oleh pebrik tidak pernah mendapatkan pembayaran dimuka. Tenaga-tenaga dibayar berdasarkan pekerjaan yang dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar