Kuli-kuli
Parit, Wanita Penyiangan dan Snijvolk
Pekerja-pekerja
Indsutri Gula Jawa Utara Awal Abad ke-20
Studi Kasus di Pabrik
Gula Pekalongan-Tegal
Indonesia dimasa
kolonial yang merupakan basis perkebunan tebu banyak menyerap tenaga kerja
siring dengan munculnya pabrik atau industri gula. Salah satu industri gula
yang muncul di sepanjang pantai utara Jawa salah satunya adalah Industri gula
Pekalongan-Tegal. Produksi gula diwilayah ini sebenarnya telah ada jauh sebelum
diberlakukannya sistem tanam paksa, sebelum dikuasai oleh kolonial, industri
gula ini berada dibawah pengusaha China yang menetap diwilayah tersebut.
Perkembangan yang tidak teratur berkembang hingga tahun 1830-an. Setelah 1830-an komoditi gula menjadi
industri utama yang berorientasi ekspor. Bahkan di kerasidenan Tegal dan
Pekalongan muncul 12 pabrik gula skala besar yang dimiliki oleh Belanda.
Perkembangan gula yang semakin meningkat tentu diikuti pula dengan permintaan
lahan dan tenaga kerja.
Dalam proses pengolahan
tebu hingga menjadi gula diperlukan dua jenis tenaga kerja dalam
tahapan-tahapannya, diantaranya yaitu tenaga kerja yang fokus pada persiapan
penanaman tebu hingga panen dan tenaga kerja pascapanen (Campaign). Kedua proses
itu tentu memerlukan tenaga kerja kasar dalam pengerjaannya. makanisasi yang
dilakukan hanya sebatas pengangkutan tebu dengan mesin uap sehingga tenaga
manusia masih sangat dibutuhkan dalam proses pengolahannya.
Tenaga kerja masa itu
juga dibagi bagi sesuai dengan tugasnya, persiapan penanaman adalah kuli parit
(geulenkoelies) yang berjumlah ribuan ditugaskan di lapangan dalam penggalian
saluran air, irigasi dan yang paling utama dilakukan adalah membuat lubang
tanah yang dalam untuk menanam tebu. Wanita penyiang (Weedwoman) merupakan
pekerjaan yang tak kalah pentingnya meskipun kebanyakan pekerjanya adalah
wanita yang ditugaskan untuk pemeliharaan dan pemupukan yang umumnya anak anak
dan wanita yang dipekerjakan digaji rendah. Tenaga kerja yang tergolong tenaga
pasca panen (Campaign) dengan tugas mencangkil tebu yang telah masak kemudian
mengangkutnya ke gerbong kereta dan dikirim ke pabrik untuk diproses. Tenaga
kerja yang bertugas mengoperasikan pabrik itu sendiri dibagi waktu kerjanya
siang dan malam. Bisa dibayangkan urbanisasi dikerasidenan saat itu juga tentu
akan mengalami peningkatan yang tajam. Dalam kerja pasca panen ini juga
memerlukan kerja tim yang biasa disebut Ploeg yang biasanya bekerja dibawah
mandor.
Banyaknya tenaga kerja
yang dibutuhkan dalam produksi gula saat itu tidak bisa terlepas dari sitem
tanam paksa yang diterapkan kolonial. Penduduk pribumi harus menyerahkan tanah
untuk ditanami tebu dan bekerja diperkebunan. Namun tidak semua petani yang
menyewakan tanahnya bekerja di industri gula, banyak diantara mereka bekerja di
daerah kota dengan pertimbangan gaji. Sehingga tenaga kerja juga banyak
didatangkan dari luar daerah perbatasan pabrik. Tenaga kerja tidak dipekerjakan
secara rutin setiap tahunnya karena umur tebu yang relatif panjang, sehingga
menimbulkan tenaga musiman yang berpindah dari satu areal ke areal lainnya.
Banyaknya industri gula yang berdiri saat itu juga bersaing dalam hal pemberian
gaji yang tinggi.
Ciri ekonomi pribumi
awal abad ke-20 di Pekalongan-Tegal dan persaingannya merupakan sebuah gambaran
yang berasal dari sumber industri resmi pertanian lokal dan ekonomi lepas
ladang yang dinilai kurang berhasil dalam dalam penggunaan tenaga kerja
industri gula yang tersedia didaerah. Akibatnya saat industri gula memerlukan
tenaga kerja sebenarnya merupakan saat kematian bagi pertanian penduduk asli.
Komposisi pekerja
musiman yang bekerja diperkebunan Jawa tidak terlepas dari daerah daerah
disekitanya, seperti yang terjadi di Jawa barat yang bergantung pada tenaga
kerja musiman dari Cirebon, sedangkan di Jawa timur bergantung pada perpindahan
pekerja musiman dari pulau Madura. Seperti yang terjadi di Pabrik gula
Pekalongan-Tegal yang menggunakan orang orang luar dalam jumlah yang banyak
telah menjadi ciri pada semua sektor produksi. Para pekerja tersebut datang
sebagai migran temporer secara musiman yang biasanya berasal dari daerah timur
cirebon.
Penyediaan
pekerja industri gula dilakukan oleh agen-agen pemerintah dimana sistem
pembayaran dilakukan dengan sistem pembayaran uang muka, para perantara
(mandor) dibayar tunai kemudian memberikan kepada pekerja dalam bentuk
pembayaran dimuka. Namun sistem ini tidak disukai karena sering menimbulkan
konflik dalam persaingan antar perusahaan gula. Namun kuli bebas yang bekerja
tanpa dipertahankan oleh pebrik tidak pernah mendapatkan pembayaran dimuka.
Tenaga-tenaga dibayar berdasarkan pekerjaan yang dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar