Kota Mojokerto
Pada Masa Pemerintahan Walikota Samioedin 1979-1989
ABSTRAKSI
Penelitian
ini mengkaji tentang Kota Mojokerto pada masa pemerintahan Walikota Samioedin
1979-1989. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
sejarah yang terdiri dari 4 tahap, yaitu tahap heuristik, kritik, interpretasi,
dan historiografi. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tentang
pembangunan bidang sosial-ekonomi dan pembangunan infrastruktur Kota Mojokerto pada
masa pemerintahan Walikota Samioedin tahun 1979 hingga 1989. Pembangunan dalam
bidang sosial diantaranya adalah pembentukan paguyuban becak, membangun progran
ibu-ibu PKK, pelaksanaan program KB, pemberian kredit pengusaha sepatu, dan
relokasi pedagang kaki lima. Sedangkan pembangunan infrastruktur diantaranya
adalah pembangunan desa eks-gelandangan, renovasi pasar, dan perluasan wilayah
Kota Mojokerto.
Kata
Kunci : Kota Mojokerto, Samioedin, Pembangunan.
ABSTRACT
This research is
assessing about “Mojokerto city in the reign of Mayor Samioedin 1979-1989”. The
method that used in this thesis writing is historical method, the fist is
heuristic, criticism, interpretation, and historiography. This research aims to describe the development
of social-economic and infrastructure development
during the reign of Mayor Samioedin at 1979 to
1989. There is a lot of development in field of social-economic such
asformation pedicab community, establish programs of PKK, implementation of
family planning programs, lending entrepreneurs shoes, and relocation
of street vendors. While the
infrastructure development such as construction
of ex-bum’s village, the renovation market, the
expansion of Mojokerto city region.
Keywords: Mojokerto city, Samioedin, Development.
Pendahuluan
Perkembangan
dan pembangunan sebuah kota tidak dapat terlepas dari pemimpin atau walikota
yang sedang berkuasa. Setiap walikota mempunyai karakteristik tersendiri dalam
melakukan perubahan dan pembangunan dalam sebuah kota. Salah satu walikota yang
berpengaruh terhadap perubahan dan pembangunan di Kota Mojokerto adalah
Walikota Samioedin yang menjabat sejak tahun 1979 hingga 1989. Pembangunan yang
dilakukan dalam bidang sosial, ekonomi maupun infrastruktur Kota Mojokerto
dapat dirasakan oleh masyarakat Kota Mojokerto.
A.
Kota Mojokerto Tahun
1950-1989
Wilayah
Kota Mojokerto secara geografis berjarak sekitar 50 km di sebelah barat Kota
Surabaya. Kota Mojokerto berada diantara koordinat kurang lebih 7o27’ lintang
selatan sampai dengan 7o 29’ lintang selatan dan kurang lebih 112o24’
bujur timur sampai dengan 112o28’ bujur timur (Imam Sampurno, 2007:
5). Wilayah Kota Mojokerto berada di tengah-tengah Kabupaten Mojokerto,
batas-batas wilayah Kota Mojokerto di sebelah utara berbatasan dengan Sungai
Brantas dan daerah Kecamatan Gedeg dan Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto,
sebelah timur berbatasan dengan daerah Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto,
sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sooko dan Kecamatan Puri Kabupaten
Mojokerto, serta di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Brangkal dan daerah
Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto (Slamet Harijadi, 1989: 2).
Penduduk Kota Mojokerto pada tahun 1971
merupakan jumlah penduduk sebelum mengalami perluasan wilayah, Jumlah penduduk
Kota Mojokerto pada tahun 1971 sejumlah 57.295 jiwa. Pada tahun 1970an, mata
pencaharian penduduk Kota Mojokerto tersebar di berbagai bidang, diantaranya
pertanian sejumlah 20%, peternakan sejumlah 9%, industri rakyat sejumlah 2%,
angkutan sejumlah 5%, perdagangan 30% dan pegawai negeri sejumlah 29% (Chabib
Sjarbini, 1973: 8). Sektor yang paling besar adalah sektor perdagangan yang
terpusat di Jalan Majapahit yang sejak lama kawasan ini didominasi etnis China.
Kota
Mojokerto mempunyai alur sejarah yang panjang sejak masa kolonial Belanda, masa
Jepang hingga pasca Proklamasi Kemerdekaan. Seiring dengan pergantian kekuasaan
tersebut Kota Mojokerto juga mengalami beberapa kali pergantian status. Pada
masa kolonial Belanda, Kota
Mojokerto ditetapkan sebagai gemeente berdasarkan
keputusan Gubernur Jenderal tanggal 20 Juli 1918 Statsblad Nomor 24. Kota
Mojokerto ditetapkan sebagai gemeente
karena penduduk Eropa di Kota Mojokerto dirasa telah mencukupi sehingga bisa
dipercaya untuk dilimpahi kekuasaan atau wewenang dalam menjalankan
pemerintahan daerah. Sejak ditetapkan sebagai gemeente, penduduk Eropa di
Kota Mojokerto sejumlah 2.342 orang, penduduk Tionghoa sejumlah 7.638. Kemudian
berdasarkan Ordonantie Hindia Belanda
Statsblad 1928 Nomor 503, Gemeente
Mojokerto berubah menjadi Stadsgemeent (Wiwik
Yulianingsih, 2012: 4-5).
Pada
tahun 1942, kekuasaan pemerintah kolonial Belanda berakhir kemudian digantikan
oleh Jepang yang berkuasa antara tahun 1942 hingga 1945. Pemerintah kota yang
pada masa kolonial Belanda bernama gemeente
dan kemudian stadsgemeente diubah
namanya dengan nama Jepang menjadi shi,
seperti Jakarta Shi, untuk
menggantikan Stadsgemeente Batavia.
Jabatan walikota yang pada masa Kolonial Belanda bernama burgermeester diubah menjadi shico
(Basundoro, 2012: 112). Adanya
perubahan tersebut juga merubah status Kota Mojokerto dari stadsgemeente Mojokerto menjadi Mojokerto Shi. Ketika Kota Mojokerto berstatus sebagai Shi, yang menjadi Shico di
Kota Mojokerto saat itu adalah Ki Ro Da yang menjabat sejak 8 Mei 1942 hingga
15 Agustus 1945 Pada masa Jepang,
satatus Stadsgemeente Mojokerto
diubah menjadi Mojokerto Shi. Setelah
kekuasaan Jepang berakhir pada tahun 1945, Proklamasi kemerdekaan Indonesia di
tandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kemudian, Pada tanggal 22 Agustus 1945 diumumkan instruksi-instruksi dari
Jakarta supaya segera daerah-daerah seluruh Indonesia mendirikan KNI yaitu
Komite Nasional Indonesia. Kota Mojokerto masih tergabung dalam wilayah
Kabupaten Mojokerto yang dipimpin oleh seorang bupati (Ayuhanafiq, 2013: 8).
Kota Mojokerto dibentuk sebagai daerah
otonomi kota kecil berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1950. Walikota
Mojokerto pertama dijabat oleh R. Soedarsono Poespowardoyo yang menjabat sejak
tahun 1950 hingga 1954. Pada masa ini pembangunan tidak banyak dilakukan karena
pemerintah masih konsentrasi untuk mengembalikan keamanan daerah pasca
terjadinya revolusi fisik. Ketika jabatan R. Soedarsono berakhir, Pemerintah
mengambil tindakan untuk mengangkat M. Soetimbul Kartowisastro sebagai Walikota
sementara yang menjabat sejak tanggal 10 Juni 1954 kemudian berakhir pada
tanggal 1 Juli 1954 (Slamet Harijadi, 1989: 1). Setelah jabatan Soetimbul
Kartowisastro berakhir kemudian digantikan oleh M. Ng Arsid Kromohadisoero yang
menjabat sejak tanggal 1 Juli 1954 hingga 1 November 1961. Pada masa
pemerintahan M. Ng Arsid Kromohadisoero Kota Mojokerto dikukuhkan sebagai Kota
Praja berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 (Imam Sampurno, 2007: 4).
Pada tahun 1965, Kota Mojokerto mengalami
perubahan status menjadi Kotamadya
Mojokerto berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Ketika berstatus
sebagai Kotamadya, Kota Mojokerto diperintah oleh Walikota R. Soedibjo. Pada
masa pemerintahan Walikota R. Soedibjo ini di Kota Mojokerto terjadi gerakan
anti PKI. Gerakan ini dilakukan oleh ormas-ormas keagamaan dengan menyerbu dan
melakukan pengrusakan terhadap tempat-tempat yang dijadikan markas PKI dan
membubarkan kesenian yang menjadi basis PKI. Akibat adanya gerakan PKI inilah
kemudian pada masa pemerintahan Walikota Chabib Sjarbini dibentuklah SUB - Direktorat
Khusus yang menjalankan tugas bersama koordinasi aparatur pemerintahan yang
lain untuk melakukan penelitian dan pembinaan terhadap tugas-tugas dan keamanan
yang menyangkut G30S/PKI, serta melakukan pembersihan dikalangan pegawai.
Proses screaning pegawai negeri
dilakukan berdasarkan pada Instruksi Presiden yang berisi tentang kebijaksanaan
yang harus dilakukan sehubungan dengan pegawai negeri atau karyawan yang
terlibat langsung dengan peristiwa
G30S/PKI, proses screaning di
Kota Mojokerto ini diketuai oleh Mayor Soedarman. Proses screaning ini
dilakukan pada masa pemerintahan Walikota Chabib Sjarbini sejak tahun 1968
hingga 1974 (Chabib Sharbini, 1975: 34).
Pada tahun 1974, Kota Mojokerto kembali
mengalami perubahan status menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Mojokerto berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. pada saat berstatus sebagai Kotamadya Daerah
Tingkat II Mojokerto yang menjadi walikota adalah R. Soehartono yang menjabat
sejak tahun 1974 hingga tahun 1979. Kemudian pada tahun 1979, Kota Mojokerto
diperintah oleh Walikota Samioedin selama dua periode. Periode pertama pada
tahun 1979 hingga 1984, kemudian periode kedua pada tahun 1984 hingga tahun
1989. Walikota Samioedin merupakan walikota pertama yang menjabat selama dua
periode. Hal ini terjadi karena perubahan dan pembangunan diberbagai bidang
dapat dirasakan oleh masyarakat. pembangunan pada masa pemerintahan Walikota
Samioedin tidak terlepas dari program pemerintah Orde Baru yang sedang memasuki
Pembangunan Lima Tahun ke 3 atau yang dikenal dengan PELITA III.
Secara teknis pemerintahan kota pada
masa Orde Baru adalah kepanjangan pemerintah pusat, sehingga gaya kepemimpinan Walikota Samioedin juga menggunakan konsep
yang dibangun Orde Baru yakni “Wong Cilik
Kudu Melu Gumuyu”. Konsep ini dimaknai
adanya upaya pemberdayaan rakyat desa untuk mencapai pemerataan bagi masyarakat
yang berada di lapisan bawah ikut menikmati hasil-hasil pembangunan tidak boleh
dilupakan (Berita
Yudha, 26 Agustus 1980). Walaupun hanya sebagai pelaksana teknis
pembangunan di tingkat daerah, namun Samioedin merupakan walikota yang dikenal
masyarakat karena beberapa program kreatifnya yang dilakukan dalam pembangunan
Kota Mojokerto
B.
Samioedin dan
Pembangunan Sosial Ekonomi Kota Mojokerto
Samioedin merupakan walikota Mojokerto
yang ketujuh. Sebelum menjadi Walikota Mojokerto, Samioedin banyak mengabdikan
diri di Kantor Pemerintah Kabupaten Sumenep. Samioedin dilahirkan di Sumenep
pada tanggal 6 Desember 1931 di Desa Kotte, Kecamatan Kota Sumenep. Samioedin
merupakan anak keempat dari tujuh putera puteri ayah ibunya. Ayah Samioedin
bernama Djalaludin dan ibunya bernama Sarkiyah. Samioedin merupakan keturunan
priyayi pangreh praja, karena ayahnya bekerja di kantor asisten residen dengan
pangkat setingkat asisten wedana. Atas jabatan orang tuanya inilah kemudian
Samioedin dapat mengenyam pendidikan formal di sekolah. Jenjang pendidikan yang
pertama adalah belajar di Sekolah Rakyat (SR) yang berada di Kabupaten Sumenep
pada tahun 1939 hingga 1945. Setelah Samioedin tamat dari Sekolah Rakyat
kemudian melanjutkan ke MULO (meer uitgebreid lager onderwijs) pada tahun 1945
hingga tahun 1949. Setamat dari MULO, kemudian Samioedin melanjutkan ke tingkat
SMA dan berhasil diselesaikan pada tahun 1952.
Setelah lulus dari bangku SMA, Samioedin
memulai karier menjadi seorang guru. Disamping menjalani profesi sebagai guru,
Samioedin juga memulai karier menjadi pegawai honorer yang berkedudukan di
Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep. Samioedin kemudian diangkat menjadi
pegawai negeri sipil pada tahun 1957. Pada tahun 1957, Samioedin menikahi anak
dari Sekertaris Wilayah Kabupaten Sumenep yang bernama Sitiyani Abdul Kadir. Pernikahan
yang dilakukan Samioedin dengan Sitiyani Abdul Kadir dikaruniai tiga orang anak.
Pada tahun 1952, Samioedin diangkat menjadi kepala bagian umum. Sejak menduduki
jabatan sebagai kepala bagian umum inilah Samioedin kemudian ditugaskan untuk
belajar di Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya dan berhasil diselesaikan
pada tahun 1963. Samioedin diangkat menjadi Wakil Sekretaris Daerah Tingkat II
Kabupaten Sumenep sejak tahun 1963 hingga 1964. Setelah Jabatan sebagai wakil
sekretaris tersebut berakhir, kemudian Samioedin diangkat menjadi Sekretaris
Daerah Tingkat II Kabupaten Sumenep menggantikan ayah mertuanya sejak tahun
1974 hingga tahun 1979. Samioedin juga aktif menjadi kader Partai Golongan
Karya dan menjadi ketua umum Golkar cabang Sumenep pada tahun 1975 hingga 1979.
Keaktifannya terhadap Partai Golongan Karya dan pengalaman yang dirintis
Samioedin ketika menjadi pegawai dengan menduduki beberapa jabatan penting di
Kabupaten Sumenep inilah kemudian Samioedin mendapatkan mandat dari Gubernur
Soenandar Projosoedarmo untuk menjadi Walikota Mojokerto.
Pada masa pemerintahan Walikota
Samioedin pertamakalinya pembangunan Kota Mojokerto dirumuskan ke arah Kota
Budiparindra yang intinya Kota Mojokerto akan dikembangkan menjadi kota budaya,
kota pendidikan, kota pariwisata, kota industri dan kota perdagangan (Slamet
Harijadi, 1989: 6). Program-program pembangunan yang dijalankan pada masa
pemerintahan Walikota Samioedin merupakan program pemerintah pusat, di tingkat
daerah hanya sebagai pelaksana teknis. Walaupun hanya sebagai pelaksana teknis
pembangunan di tingkat daerah, namun Samioedin merupakan walikota yang dikenal
masyarakat karena beberapa program kreatifnya yang dilakukan dalam pembangunan
Kota Mojokerto.
Pembangunan pada masa pemerintahan
Walikota Samioedin dalam bidang sosial ekonomi direalisasikan melalui beberapa
program kerja. Pembangunan pada bidang sosial ekonomi yang pertama adalah
pembentukan paguyuban becak pada tanggal 20 Desember 1979. Organisasi ini
berfungsi sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi para tukang becak, misalnya
untuk mekanisme becak di jalan agar tidak berebut penumpang. Penyesuaian tarif
penumpang becak serta untuk memudahkan segala administrasi para tukang becak di
Kota Mojokerto (Karya
Darma, 17 Januari 1980).
Program-program yang dilakukan dalam paguyuban ini adalah Warung murah khusus
untuk pengemudi becak. Warung ini didirikan pada tahun 1980 di Kelurahan Miji,
Kota Mojokerto. Warung ini melayani makan para tukang becak dengan harga Rp 50
hingga Rp 75 untuk sepiring nasi dengan satu jenis lauk beserta minumnya (Karya Darma, 14 September 1980). Walikota juga
mengambil kebijakan untuk mendirikan rumah murah untuk tukang becak, Pembangunan
rumah tukang becak ini untuk tahap pertama dibangun 15 rumah dengan biaya Rp
150.000 per rumah diatas tanah desa (Suara
Karya, 5 Juni 1980).
Perumahan yang didirikan untuk tukang becak dikenal dengan sebutan “rumah topengan”, karena bagian depan
rumah ditembok dan belakangnya dari bambu. Rumah tersebut terdiri dari ruang
tamu merangkap ruang makan, sebuah kamar tidur dan dapur. Hanya ruang tamu saja
yang lantainya diplester semen, sedangkan kamar tidur dan dapur masih berlantai
tanah. Setiap lima rumah yang sudah dihuni disediakan dua kamar mandi dan
sebuah WC (Mutiara,
3 September 1980).
Rumah dan tanah yang dibangun ini terhitung seharga Rp 200.000. Tukang becak
yang mendapat rumah sederhana itu juga dapat membeli rumah itu dengan angsuran
Rp 200,- perhari untuk rumah yang kondisinya lebih besar dari yang angsuran Rp
100 (Merdeka, 21
Juni 1980).
Pembangunan bidang sosial ekonomi yang
kedua adalah pembangunan program ibu PKK, salah satunya adalah di Kelurahan
Gedongan mendapat dana dari pemerintah Kota Mojokerto untuk membuat usaha tempe
yang setiap pagi dititipkan di warung-warung yang ada di Kelurahan Gedongan.
PKK di Kelurahan Gedongan ini juga telah mengusahakan peternakan ayam potong
sejumlah 30 ekor, dan pemeliharaan ikan tombro yang tersebar di Gedongan Gang
I, Gedongan Gang 5 dan Gedongan Gang 9 (Wahyudi, 1982:321-323). Dikalangan
ibu-ibu juga dilaksanakan Program Keluarga Berencana (KB). Pelaksanaan Program
KB di Kota Mojokerto melalui berbagai strategi dan melibatkan berbagai pihak.
PKK berperan dalam terlaksananya program KB dengan cara membentuk
kelompok-kelompok KB.
Pemerintah Kota Mojokerto juga melakukan
safari untuk mensukseskan program KB untuk masyarakat kota dengan melakukan
penyuluhan-penyuluhan di posyandu dan di balai kelurahan. Bahkan ada aparat
kelurahan yang didampingi oleh Walikota melakukan sosialisasi pentingnya KB (Jawa Pos, 6 Mei 1981). Usaha aparat
pemerintahan bersama aparat desa dalam mensukseskan program KB sangat beraneka
ragam, mulai dari pengecetan rumah-rumah penduduk dengan gambar dan tulisan “KB dan Dua Anak Cukup”. Pada tahun 1981
pemerintah Kota Mojokerto memberikan modal berupa paket kerja yang diberikan
kepada kelompok-kelompok KB. Pinjaman tersebut diberikan dengan syarat dimana
para kaum ibu bersedia menggunakan alat kontrasepsi dan mengajak ibu-ibu
lainnya untuk menjadi akseptor KB (Jawa
Pos, 6 Mei 1981).
Usaha untuk meningkatkan jumlah akseptor
KB juga dilakukan dengan cara pemberian bantuan modal untuk peningkatan
industri rakyat yang sebagian besar terdiri dari pengusaha kecil dan pengusaha
lemah modal. Dalam kebijakannya, Walikota Samioedin memberikan bantuan modal
untuk Industri rakyat ini dengan memberikan paket modal sejumlah Rp 500.000.
Dana modal yang diberikan tersebut bersumber dari APBD tahun 1980/1981. Dana
tersebut kemudian dipinjamkan kepada Abdul Mukti yang mempunyai usaha
pertukangan kayu sejumlah Rp 100.000, untuk kelompok pengrajin tahu di Kelurahan
Balongsari sejumlah Rp 200.000, Ibu Sukarmin pembuat jamu jawa di Kelurahan
Kranggan mendapat pinjaman sejumlah Rp 50.000, Mochammad Alwi pengusaha tahu di
Kelurahan Miji mendapat bantuan modal sejumlah Rp 100.000, dan Soenardi pembuat
dandang tembaga di Kelurahan Kranggan mendapat bantuan modal sejumlah Rp 50.000
(Jawa Pos, 6 Mei
1981). Pemberian
modal untuk industri tersebut adalah upaya pemerintah untuk menarik keluarga
agar mengikuti program KB yang menjadi program nasional pada masa pemerintahan
Orde Baru.
Pemberian kredit untuk pengusaha sepatu
dilakukan Walikota Samioedin dengan membentuk koperasi. Realisasi pembentukan
koperasi ini diwujudkan Walikota Samioedin dengan mengadakan pertemuan pada
tanggal 10 April 1979 di Aula Gedung DPRD Kota Mojokerto. Koperasi ini
bertujuan untuk mengatur dan membantu pengrajin sepatu dalam proses produksi.
Sejak awal didirikan tercatat 61 orang orang pengrajin resmi menjadi anggota.
Untuk modal awal koperasi ini dihimpun dari saham wajib sebesar Rp 5.000,- dan
iuran wajib anggota setiap bulan sebesar Rp 100,-. Pada awal tahun 1980an,
Departemen Perindustrian memberikan bantuan koperasi sejumlah Rp 2.000.000 yang
dirupakan alat-alat persepatuan berupa mesin jahit sejumlah 5 buah, alat
cetakan sepatu sejumlah 200 buah. Bantuan ini kemudian dibagikan secara merata
kepada anggota koperasi dengan sistem kredit, jadi bantuan ini diberikan kepada
anggota dengan sistem kredit yang tidak mengikat (Wahyudi, 1982:298). Dalam
mengatasi permodalan, Walikota Samioedin juga mengadakan kerjasama dengan pihak
Bank BNI 46. Hal ini dilakukan agar proses produksi berjalan terus-menerus (Surabaya Pos, 20 juni 1980).
Walikota Samioedin mengeluarkan
kebijakan untuk merelokasi pedagang yang mangkal disepanjang Jalan Majapahit.
Dalam kebijakan tersebut Walikota Samioedin menetapkan untuk sebagian PKL dipindahkan ke Jalan Jaksa Agung
Suprapto yang kemudian dikenal masyarakat dengan sebutan Jalan Joko Sambang.
Jalan tersebut menjadi pasar malam sejak pukul 16.00 hingga pukul 24.00.
Relokasi ini dilakukan juga untuk menghindari kemacetan yang sering terjadi di
sepanjang Jalan Majapahit. Kebijakan walikota ini tertuang dalam Surat
Keputusan Nomor 157 Tahun 1980 (Arsip
Nomor 003/325/19000 DPRD).
C.
Geliat
Pembangunan Infrastruktur Kota Mojokerto
Pembangunan infrastruktur Kota Mojokerto
pada masa pemerintahan Walikota Samioedin diantaranya adalah pembangunan desa
eks-gelandangan, renovasi pasar dan perluasan wilayah Kota Mojokerto. Pembangunan
infrastruktur Kota Mojokerto tidak semuanya berjalan lancar. Beberapa
pembangunan infrastruktur mengalami hambatan karena anggaran dari pemerintah
pusat yang sangat terbatas.
Pada masa pemerintahan Walikota
Samioedin terdapat program pembangunan untuk desa atau lingkungan
eks-gelandangan. Desa atau lingkungan eks-gelandangan merupakan tempat tinggal
eks-gelandangan yang berada di dua lingkungan, yaitu Lingkungan Cakarayam Baru dan
Lingkungan Balongcangkring II. Kawasan yang menjadi tempat tinggal
eks-gelandangan ini dikelola di bawah lembaga sosial yang bernama Yayasan
Majapahit. Yayasan ini bekerja sama dengan Pemerintah Kota Mojokerto dalam
membinan aneka tuna, seperti tuna wisma, gelandangan, pengemis dan tuna susila.
Di Lingkungan Cakarayam Baru digunakan untuk menampung aneka tuna seperti tuna
wisma, gelandangan, dan pengemis. Kemudian di Lingkungan Balongcangkring
digunakan sebagai tempat khusus lokalisasi tunasusila.
Pemerintah Kota Mojokerto bekerja sama
dengan pengurus yayasan mendirikan tempat tinggal berupa barak-barak
berkotak-kotak yang dibangun dengan dana sumbangan pemerintah daerah dan dana
yayasan. Dalam keberlangsungan selanjutnya, Lurah Suwono Blong menggagas untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi kalangan
tuna wisma dengan mendirikan wadah arisan yang difungsikan untuk membangun
rumah-rumah bagi para tuna. Arisan itu setiap harinya menyisihkan uang dari
pendapatannya sejumlah Rp 100, dikalikan 10 hari dengan jumlah kepala keluarga
yang saat itu mencapa 175 kepala keluarga. Sehingga setiap 10 hari sekali
berhasil didirikan 1 rumah yang kemudian terus bergilir. Rumah ini didirikan di
atas tanah milik Yayasan Majapahit, sehingga masyarakat yang tinggal di yayasan
ini hanya berhak menempati, merawat dan tidak berhak untuk menjual, sedangkan
status tanah tetap menjadi hak milik yayasan. Selain itu, diyayasan ini juga
dilakukan program pembinaan antara lain program menjahit dengan upaya
pemerintah memberikan bantuan berupa mesin jahit serta perlatannya kepada para
pengangguran(Karya
Darma, 3 April 1982).
Renovasi pasar kliwon dimulai pada akhir
tahun 1978, pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan pembaharuan (renovasi) terhadap Pasar Kliwon yang
dibangun dengan dana Inpres tahun 1977 dimana pembangunannya dimulai sejak
tanggal 6 November 1978. Pemugaran Pasar Kliwon dilakukan oleh CV Sinar Mojokerto.
Pada waktu pemugaran atau renovasi ini kemudian didirikan 6 los pasar berukuran
7 meter kali 21 meter dengan konstruksi besi dan beratap asbes bergelombang
serta dilengkapi dengan kantor, kamar mandi dan WC (Surabaya Post, 12 Maret 1981). Pasar Kliwon
yang awalnya hanya mempunyai beberapa toko. Pasca renovasi memiliki 16 toko
atau bedak yang masing-masing
berukuran 3,5 kali 5 meter dan 2 toko atau bedak
berukuran 3,5 kali 6 meter. Bangunan Pasar kliwon setelah di renovasi juga
dilengkapi dengan saluran got-got untuk pembuangan air, pemasangan instalasi
listrik, serta pengaspalan jalan di sekeliling pasar (Jawa Pos, 7 Mei 1979). Pasca
renovasi, jumlah pedagang yang dapat ditampung dalam Pasar Kliwon semakin
banyak, yaitu sejumlah 115 orang dengan rincian untuk pedagang yang akan
menempati los sebanyak 97 orang, untuk pedagang kios sebanyak 18 orang (Surabaya Post, 12 Maret 1981).
Pembangunan Pasar Kliwon menurut laporan
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Mojokerto menghabiskan dana sebesar Rp
55.000.000 termasuk biaya peluncuran. Pembangunan selesai pada tanggal 30 April
1979, kemudian pada hari Sabtu tanggal 21 Juli 1979 Pasar Kliwon diresmikan.
Dalam peresmian itu dihadiri oleh Samioedin selaku Walikota Mojokerto, Pembantu
Gubernur di Surabaya Susanto Hariasmono beserta istrinya, Bupati Fatchurrochman
beserta istrinya. Para calon penghuni pasar juga hadir unruk menyaksikan acara peresmian
Pasar Kliwon yang baru. Pemakaian Pasar Kliwon secara resmi ditandai dengan
penandatanganan prasasti dan pengguntingan pita oleh Ibu Susanto (Surabaya Post, 12 Maret 1981).
Selain di Pasar Kliwon, pasar lain yang
mengalami perbaikan dalam hal manajemen adalah pasar Tanjung yang mengalami Perbaikan
dengan pembentukan tim khusus pengaturan penempatan pedagang di Pasar Tanjung
yang dibentuk pada tanggal 1 Maret 1982 berdasarkan Surat Keputusan Nomor
511.2/ 344/ 416.31/ 82. Tim ini bertugas untuk Mengadakan pengaturan penempatan
terhadap kios/ toko/ bedak dan los pasar tanjung di sebelah timur, barat dan
selatan. Mengadakan rumusan sistim pembayaran sewa menyewa kios/ toko/ bedak/
dan los pasar tanjung di sebelah timur, barat dan selatan. Melaporkan dan
mempertanggung jawabkan mengenai hasil pelaksanaan tugas pengaturan tempat dan
sistim pembayaran kepada Walikota Mojokerto.
Pada masa
pemerintahan Walikota Samioedin juga terjadi perluasan wilayah. Sejak awal Kota
Mojokerto di tetapkan sebagai daerah otonomi kota kecil pada tahun 1950, Kota
Mojokerto hanya memiliki satu kecamatan yaitu Kecamatan Kota Mojokerto yang
membawahi 12 kelurahan. Luas wilayah Kota Mojokerto pada tahun 1950
adalah 7,25 km2. Pada tahun 1982, antara Walikota Mojokerto dan
Bupati Mojokerto mengadakan kesepakatan dengan keputusan bahwa Kota Mojokerto
terdiri dari dua kecamatan yang dibagi menjadi Kecamatan Mojokerto Barat yang
berkedudukan di Prajurit Kulon, dan Kecamatan Mojokerto Timur yang berkedudukan
di Kecamatan Magersari. Kecamatan
Prajurit kulon terdiri dari Kelurahan Kauman, Mentikan, Miji, Kranggan,
Pulorejo, Prajurit Kulon, Blooto dan Surodinawan. Sedangkan Kecamatan Magersari
terdiri dari Kelurahan Magersari, Gedongan, Purwotengah, Sentanan, Balongsari,
Jagalan, Wates, Kedundung, Gunung gedangan, dan Meri (Surabaya Post,
13 maret 1979). Perluasan
wilayah Kota Mojokerto ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 47 Tahun 1982 tentang perubahan wilayah dan batas Kota
Mojokerto yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto.
Pasca perluasan
wilayah Kota Mojokerto pada tahun 1982, luas Kota Mojokerto juga mengalami
perubahan dari 7,25 km2 menjadi 16,48 km2. Luas Kota
Mojokerto itu terdiri dari: tanah sawah seluas 9,02 km2, tanah
tegalan seluas 0,64 km2, tanah pekarangan seluas 6,08 km2,
tanah lainnya seluas 0,72 km2 (Slamet Harijadi, 1989: 3). Perluasan
wilayah itu dilakukan guna memperluas pembangunan Kota mojokerto yang terbatasi
oleh lahan yang sempit.
Pemerintahan Samioedin sebagai Walikota
Mojokerto berakhir pada tanggal 15 Januari 1989. Sebelum jabatannya berakhir
Samioedin telah memperjuangkan pemindahan Kantor Pemerintah Kota Mojokerto yang
semula berada di Jalan Hayam Wuruk, Kota Mojokerto. Menurut perencanaan kantor
ini akan dipindahkan ke Lapangan Balongsari yang berada Jalan Gajah Mada.
Pemindahan ini dilakukan karena kantor pemerintahan Kota Mojokerto yang berada
di Jalan Hayam Wuruk terlalu sempit dan letaknya yang kurang strategis. Upaya
Walikota Samioedin untuk membangun Kantor Pemerintah Kota Mojokerto yang baru
itu tidak berhasil karena terdapat beberapa hambatan. Hambatan tersebut
terutama dalam hal dana pembangunan yang saat itu subsidi dari pemerintah pusat
untuk penyelenggaraan pembangunan Kota Mojokerto masih sangat minim. Di akhir masa
pemerintahan Walikota Samioedin hanya berhasil memperlebar Jalan Gajahmada
menjadi dua jalur, jalan ini nantinya akan menjadi jalan utama menuju kantor pemerintahan Kota Mojokerto.
Pada akhir masa pemerintahan Walikota
Samioedin juga belum berhasil menetralisir peralihan fungsi sungai sinoman I
dan sinoman II, pada awalnya sungai sinoman ini merupakan sungai yang digunakan
sebagai sarana irigasi yang mengairi daerah pertanian di Kota Mojokerto sebelah
timur, kemudian ada perkembangannya daerah pertanian tersebut berubah menjadi
pemukiman warga atau perumahan. Perubahan fungsi Sungai Sinoman dari sarana
irigasi menjadi sarana pembuangan sampah masyarakat, kondisi ini menimbulkan
masalah karena sungai ini bermuara di wilayah kabupaten. Hingga akhir masa
jabatan Walikota Samioedin belum bisa menangani masalah ini
D. Kesimpulan
Perkembangan Kota Mojokerto tidak
terlepas dari peran walikota yang berkuasa. Pada tahun 1979-1989 Kota Mojokerto
berada di bawah pemerintahan Walikota Samioedin yang bersamaan dengan
dilaksanakannya program pembangunan nasional Pelita III dan IV. Selama pemerintahan
Walikota Samioedin landasan pembangunan sudah mulai jelas. Arahan dan landasan
pembangunan Kota Mojokerto diarahkan untuk menjadi Kota Budiparindra, yaitu
kota budaya, kota pendidikan, kota pariwisata, kota industri dan kota perdagangan.
Pada masa pemerintahan Walikota Samioedin pembangunan bidang sosial Kota
Mojokerto diantaranya pembentukan Paguyuban becak Mojopahit yang didirikan pada
bulan Desember 1979 ini bertujuan untuk menampung segala aspirasi anggotanya. Pada
masa pemerintahan Walikota Samioedin, pemerintah juga memberikan kredit
pengusaha sepatu dengan mengadakan kerja sama dengan pihak Bank BNI. Pembinaan
terhadap Ibu-Ibu PKK di tingkat kelurahan dengan memberikan program pembuatan
tempe, dan peternakan ikan tombro. Pelaksanaan program KB untuk mengendalikan
jumlah kelahiran yang dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya adalah
pemberian pinjaman. Pembangunan bidang sosial yang terakhir adalah relokasi
pedagang kaki lima yaang berada di sepanjang Jalan Majaphit, kemudian
direlokasi ke Jalan Jaksa Agung Suprapto. Relokasi ini dilakukan untuk
menghindari kemacetan.
Perubahan infrastruktur Kota Mojokerto
pada masa pemerintahan Walikota Samioedin diantaranya, diantaranya adalah
pembangunan desa eks-gelandangan yang berada di Lingkungan Cakarayam Baru dan
Lingkungan Balongcangkring, renovasi Pasar Kliwon, serta perluasan wilayah
kota. Perubahan perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Samioedin belum
berhasil menciptakan secara utuh landasan kota “Budiparindra”, dimasa akhir pemerintahannya juga terdapat beberapa
cita-cita dan program yang belum dapat diwujudkan.